v Tesis :
“Kebenaran
adalah kesesuaian intelek dengan realitas, karena kebenaran adalah tujuan akhir
dari intelek dan realitas. Bahwa sesuatu benar jika sungguh-sungguh ada
(dialami) dan adanya sesuatu itu dapat dijelaskan. Dengan demikian, kebenaran
bukan hanya soal pengakuan atas adanya sesuatu tapi juga pemahaman atas adanya
sesuatu, karena intelek dan realitas bukanlah cara dalam menghasilkan kebenaran
namun daya yang dari padanya manusia bisa beroleh kebenaran.”
v Kerangka Pembahasan :
1. Devaluasi peran rasio dan
pengalaman.
Tak bisa dipungkiri
bahwa pada kenyataannya, dalam diri manusia terkandung hasrat untuk menuju pada
kebenaran. Hasrat tersebut memampukan manusia untuk bersikap dalam menilai
kebenaran dari pengetahuan yang ditemuinya dalam kehidupan setiap hari. Sikap
yang dimaksud, adalah menerima pengetahuan yang benar (sesuai dengan rasio dan
berdasar pada pengalaman) dan menjauhi pengetahuan yang salah. Dua hal yang
muncul dalam pengetahuan yang benar, adalah rasio dan pengalaman. Rasio merujuk
pada daya nalar manusia yang mana dari padanya manusia dimampukan untuk
berpikir dan memilah-milah setiap hal yang ia jumpai sebagai sarana untuk
memahami dan menentukan sikap atas realitas. Untuk itu, tak dapat disangkal
bahwa ilmu pengetahuan adalah produk rasio. Sedangkan pengalaman merujuk pada
penghayatan manusia atas pengalaman, dimana dalamnya keseluruhan eksistensi
manusia berperan dalamnya. Keseluruhan eksistensi manusia yang dimaksudkan merujuk
pada kemampuan manusia dalam melihat pengalaman lewat daya nurani yang memiliki
akal sendiri dan akal tersebut tak diketahui oleh rasio. Contohnya : rasa
terenyuh yang menimbulkan simpati bahkan empati dalalm diri manusia saat
berhadapan dengan realitas yang mengharukan (misalnya : pengamen cilik berumur
7 tahun dengan pakaian kumal berusaha bernyanyi sebaik mungkin demi sesuap
nasi). Rasio tak pernah akan bisa mengerti mengapa rasa terenyuh itu muncul
begitu saja tanpa bisa dibendung, bahkan bila berkembang menjadi sebuah sikap
simpati bahkan empati atas realitas tersebut.
Semua itu menampilkan
rasio dan penghayatan sebagai dua cara yang berbeda satu sama lain dalam menghasilkan
sebuah pengetahuan yang benar atas realitas. Hal inilah yang menjadi kelemahan
dari kaum rasionalis dan kaum empiris karena melihat rasio hanya sebatas cara memperoleh pengetahuan. Mereka lupa
bahwa pada hakikatnya rasio dan penghayatan adalah daya yang hanya bisa bermanfaat dalam menghasilkan pengetahuan yang
benar jika tidak dipisahkan satu dari yang lain. Mengapa ?
Di atas telah
dijelaskan perihal hakikat rasio yang adalah daya nalar manusia yang mana dari
padanya manusia dimampukan untuk berpikir dan memilah-milah setiap hal yang
dijumpai sebagai titik tolak dalam memahami realitas, sedangkan penghayatan
adalah daya nurani manusia yang mana dari padanya manusia dimampukan untuk
menghayati keberadaan dirinya sebagai bagian dari realitas. Tesis dasar relasi
dependensi rasio dan penghayatan dalam konteks ini, adalah bahwa rasio dan
pengalaman adalah dwitunggal kekuatan manusia dalam menghasilkan kebenaran.
Lewat rasio pengalaman dipilah-pilah dan dinalar sebagai usaha dalam memahami
realitas. Kendati demikian, pemilahan dan penalaran atas pengalaman tersebut
hanya mungkin jika manusia sungguh menyadari keberadaannya dalam realitas;
bahwa realitas sungguh ada karena dalamnya manusia bereksistensi. Tak mungkin
manusia memilah-milah dan menalar sebuah pengalaman jika pengalaman tersebut
tidak dikenali manusia sebagai sebuah realitas dimana ia berada. Atau dengan
kata lain, manusia tidak mungkin memahami sesuatu dalam tataran rasio jika
sesuatu itu tidak ada. Hal yang sama juga berlaku pada penghayatan. Tak mungkin
manusia mampu menghayati pengalaman sebagai bagian dari dirinya, bila manusia
tak mampu untuk mengenali pengalaman itu sendiri. Karena penghayatan tanpa
pengenalan menjadikan manusia sama seperti robot yang beraksi seturut input dari remote control tanpa tahu alasan yang mendasari aksi tersebut.
Dengan demikian,
devaluasi atas rasio oleh kaum empiris atau pun devaluasi atas fakta empiric
oleh kaum rasionalis dapat dikatakan sebagai pola pikir yang cenderung
memandang rasio dan fakta empiric sebagai cara dalam memperoleh pengetahuan
yang benar. Padahal keduanya merupakan daya kodrati manusia, karena substansi
manusia yang tersusun atas jiwa dan tubuh. Rasio adalah daya jiwa (forma dari
manusia) dan penghayatan adalah daya tubuh (materi dari manusia), sehingga tak
bisa dipungkiri bahwa dalam realitas yang dihadapi manusia rasio terlepas dari
penghayatan atau pun penghayatan terlepas dari rasio.[1]
2.
Pengalaman
Sebagai Daya Kebenaran Ontologis.
Di atas telah
dijelaskan bahwa dalam pengalaman terkandung penghayatan sebagai daya yang dari
padanya manusia dimampukan untuk menyadari keberadaan dirinya dalam realitas.
Atau dengan kata lain, penghayatan merupakan kandungan pengalaman yang
memampukan manusia untuk melihat dengan hati karena melihat dengan hati
membutuhkan kesadaran akan aspek eksistensial dari pengalaman itu sendiri juga
keseluruhan eksistensi manusia sebagai satu kesatuan jiwa dan tubuh. Dengan
demikian, lewat pengalaman manusia dimampukan untuk sungguh menyadari bahwa
realita yang dialami adalah sebuah realitas yang sungguh ada dan bukan ilusi.
Atau dengan kata lain, pengalaman adalah daya kebenaran ontologis. Kebenaran
yang pembenarannya didasarkan pada fakta ontologis, yaitu bahwa sesuatu dianggap
benar karena bereksistensi secara utuh dan eksistensi tersebut hanya bisa
dibuktikan bila manusia hadir dengan seluruh eksistensinya. Relasi itu kiranya
dapat digambarkan lewat contoh berikut : ketika melihat sebuah mangga yang
sudah matang, kita akan merasa tergiur. Rasa tergiur itu bukan disebabkan
karena penampilan fisik dari mangga matang yang berwarna kuning, melainkan
karena aroma harum yang terpancar keluar dari padanya. Aroma harum tersebut
ditangkap oleh manusia lewat panca indra (dimensi tubuh manusia) dan dimaknai
oleh manusia sebagai sesuatu yang menggiurkan. Pemaknaan tersebut merupakan
kesan yang tersimpan dalam budi manusia lewat pengalaman yang sama di waktu
sebelumnya, karena pengetahuan dalam penghayatan tak pernah lepas dari dinamika
sejarah kehidupan manusia. Tak mungkin seseorang akan tergiur melihat sebuah
mangga masak bila mangga tersebut tidak bereksistensi dan manusia tidak mampu
bereksistensi secara utuh dalam pengalaman melihat mangga masak tersebut. Itulah
sebabnya mengapa disebut bahwa hanya apa yang bereksistensi yang dapat
dipahami.[2] Dengan
demikian orang hanya akan merasa tergiur pada mangga masak karena ia tahu bahwa
mangga masak itu enak rasanya. Pengetahuan tentang rasa enak dari mangga itu
datang dari pengalaman adanya manusia berhadapan dengan adanya mangga tersebut.
Dimana dalam pengalaman tersebut manusia mengalami mangga tersebut sebagai
sebuah realitas yang sejati karena hadir dengan seluruh eksistensinya dan
pengalaman tersebut bisa diketahui karena manusia hadir pula dengan keseluruhan
eksistensinya; dimana manusia bukan hanya mengalami lewat mata (melihat), atau
mengalami lewat aroma (mencium) tapi juga mengalami lewat budi dimana kesan
atas enaknya mangga yang pernah ia alami tersimpan dalamnya.
Inspirasi : Sesuatu
dianggap benar, jika sungguh ada.
3.
Rasio
Sebagai Daya Kebenaran Epistemologis.
Kebenaran epistemologis
disebut juga kebenaran pengetahuan (the
truth of knowledge).[3] Dalam
kebenaran epistemologis, kebenaran dihubungkan dengan intelek yang memiliki
kemampuan untuk mengetahuinya. Maksudnya adalah bahwa sesuatu hanya dapat
dikatakan sebagai sebuah kebenaran jika sungguh dapat dipahami oleh daya
intelek manusia (rasio). Cara agar manusia sampai pada pemahaman ini, adalah
mempelajari secara kritis apa yang disebut sebagai sebuah pengetahuan ilmiah
lewat sebuah penalaran rasional. Dengan begitu, kebenaran epistemologis
merupakan kebenaran sebagai hasil dari kajian kritis atas pengandaian dan
syarat logis yang dari padanya pengetahuan berasal.[4]
Pengertian ini
menjelaskan peran kebenaran epistemologis sebagai bentuk pertanggungjawaban
rasional terhadap objektivitas dari pengetahuan. Bahwa sesuatu dapat diterima
sebagai sebuah kebenaran jika sesuatu itu sungguh dapat dijelaskan. Dalam
kebenaran ini rasio berperan sebagai daya utama dan dasariah, karena melaluinya
dan dalamnya penalaran atas sebuah kebenaran dilakukan oleh manusia dengan
merujuk pada asal-usul kebenaran itu sendiri. Sehingga dalam penalaran ini
sebuah kebenaran dituntut untuk dipahami sebagaimana adanya, sesuai dengan jati
diri kebenaran itu sendiri.[5]
Mengenai hal ini Heidegger bahkan berpendapat bahwa pengetahuan adalah
pernyataan diri ada dari kebenaran.[6]
Maka dari itu, untuk memahami sebuah pengetahuan sebagai kebenaran, diperlukan
sebuah pemahaman yang benar atas pengetahuan itu sendiri dan juga kebenaran
yang dimaksudkan dalamnya. Konsekuensinya adalah jika kebenaran tidak dipahami
sebagaimana adanya, hasil penalaran bisa saja salah dan lantas mengakibatkan
apa yang memang sungguh benar berubah menjadi sebuah keyakinan belaka, dan
inilah yang akan amat disesalkan terlepas dari kenyataan bahwa ada juga
kebenaran yang tidak sungguh benar.
Dari semua pengertian
tersebut, dapatlah dilihat bahwa daya utama dalam memahami sesuatu sebagai
sebuah kebenaran epistemology adalah rasio. Karena rasio pertama-tama
memampukan manusia melihat sebuah kebenaran sebagai sesuatu yang adanya dapat
dijelaskan; mengingat pemahaman epistemology mengandaikan sebuah pemahaman atas
kebenaran sebagaimana adanya, serentak juga karena hanya dalam dan melalui
rasiolah manusia dimampukan untuk melakukan aktivitas bernalar secara logis.
Kendati demikian, hal yang perlu diperhatikan disini adalah bahwa rasio hanya
dapat berdaya maksimal bilamana manusia senantiasa mengusahakan input yang memperkaya rasio itu
sendiri. Input yang dimaksudkan adalah pengetahuan yang dari padanya manusia
dibantu untuk melihat sebuah kebenaran secara logis. Misalnya : kemampuan
berhitung untuk menjelaskan masalah matematis, kemampuan membaca untuk memahami
maksud sebuah tulisan, dan lain sebagainya. Tak mungkin orang bisa bernalar
secara baik, bila daya rasionya kurang. Singkat kata, bernalar merupakan daya
rasio yang dari padanya kebenaran dalam konteks pengetahuan dapat dipahami.
Kendati demikian, rasio membutuhkan kemampuan-kemampuan rasional yang bisa
menjadikannya berdaya guna, ibarat tubuh yang dapat beraktivitas dengan baik
bila diberi makan. Tidak mungkin manusia bisa menjelaskan sesuatu tanpa
pemahaman yang baik atas apa yang dijelaskan.
4.
Relasi
Dependensi Rasio Dan Pengalaman
Titik kelemahan dari
para kaum rasionalis maupun kaum empiris, adalah cara pandang atas rasio juga
pengalaman sebagai cara yang dari padanya manusia dimampukan dalam memperoleh
kebenaran. Kebenaran yang dimaksud adalah pengetahuan secara pasti tentang sesuatu.
Kepastian tersebut merujuk pada pengetahuan yang sesuai dengan kenyataan dan
diterima oleh rasio setelah melalui refleksi ilmiah. Kaum rasionalis bersikeras
bahwa hanya dengan menggunakan prosedur tertentu dari akal saja, manusia dapat
sampai pada pengetahuan yang sebenarnya. Untuk itu yang menjadi satu-satunya
sumber pengetahuan, adalah rasio. Sedangkan kaum empiris bersikeras bahwa hanya
pengalamanlah sumber satu-satunya pengetahuan manusia karena pengalaman dan
pengamata panca indra memberikan data dan fakta sebagai titik tolak lahirnya
suatu pengetahuan baru. Mengapa ? Karena pada dasarnya mengetahui sesuatu
berarti mengalami adanya sesuatu tersebut lewat pengalaman indrawi.[7] Konsekuensinya
adalah devaluasi atas rasio oleh kaum empiris juga devaluasi atas pengalaman
oleh kaum rasionalis.
Lantas, bagaimana
mengusahakan sebuah jalan tengah agar tembok devaluasi tersebut runtuh dan
digantikan dengan sebuah kerja sama antara rasio dan pengalaman sebagai daya
menuju kebenaran sejati ? Dalam menjawab persoalan ini, hal pertama yang harus
diperhatikan adalah relasi dependensi antara rasio dan pengalaman dalam
menghasilkan sebuah pengetahuan yang mengandung kebenaran sejati.
Jika sejarah pemikiran ditelusuri, umumnya
pengetahuan dibagi dalam dua bagian yaitu pengetahuan apriori dan pengetahuan
aposteriori. Pembagian ini dibuat oleh Aristoteles. Olehnya pengetahuan apriori
merujuk pada pengetahuan yang lebih dulu atau sebelum, sedangkan pengetahuan
aposteriori merujuk pada pengetahuan dari apa yang sesudahnya. Karena
menurutnya A lebih dulu dari B jika dan hanya jika B bisa ada tanpa A. Pendapat
ini lantas dalam perjalaan waktu dikembangkan oleh Leibniz dan Kant. Leibniz
lebih spesifik merumuskan definisi pengetahuan aposteriorisebagai pengetahuan
yang diperoleh lewat hasil tangkapan panca indra, sedangkan pengetahuan apriori
merupakan pengetahuan yang diperoleh lewat pemahaman atas sebab terjadinya
pengalaman yang ditangkap oleh panca indra. Argument ini lantas dikembangkan
oleh Kant dengan membedakan kedua hal tersebut dengan berdasar pada kemungkinan
kedua dari argument pariori dan aposteriori. Apakah sesuatu pengetahuan bisa
dibuktikan kebenarannya jika tidak berasal dari pengalaman atau jika tidak
diberikan alasan atau sebab dari sebuah pengetahuan, apakah pengetahuan
tersebut bisa disebut sebagai sebuah kebenaran ? Pembedaan ini lantas semakin
menciptakan ruang pemisah antara pengetahuan empiris dan pengetahuan bukan
empiris (pengetahuan rasional).[8]
Untuk itu dalam
mengusahakan sebuah jalan tengah atas dua pertentangan tersebut, langkah yang
bisa diambil adalah mengelompokkan pengetahuan empiris dan pengetahuan rasional
dalam dua cara berpikir. Pengetahuan empiris ditempatkan dalam kerangka
berpikir : “berpikir-menghayati”[9] (ervaringsdenken) dan pengetahuan
rasional ditempatkan dalam kerangka berpikir : “berpikir-merenung”. Penempatan
ini dimaksudkan agar rasio dan pengalaman dapat dipandang sebagai daya manusia
dalam memperoleh pengetahuan. Dalam “berpikir – menghayati” merujuk pada respon
manusia atas pengalaman yang dialami. Dimana dalam berhadapan dengan
pengalaman, manusia terdorong untuk mengarahkan dirinya pada pemaknaan atas
pegalaman. Sedangkan dalam “berpikir – merenung”, merujuk pada dorongan manusia
untuk memahami apa yang dialami. Dengan kata lain, “berpikir-merenung” adalah
kelanjutan dari “berpikir – memahami”. Kedua pengertian atas pola pikir ini
mengandung sebuah kenyataan bahwa bagi manusia kebenaran pengetahuan bukan
hanya sampai pada taraf penghayatan atas pengalaman empirik semata tapi juga
berlanjut pada taraf refleksi atas penghayatan itu sendiri. Konsekuensinya
adalah tak cukup penghayatan diutamakan sebagai sumber pengetahuan karena hanya
akan menempatkan manusia dalam posisi yang sama dengan hidupnya sendiri.
Sehingga perlu juga refleksi ilmiah kritis atas pengalaman dengan melihat
kembali penghayatan, karena lewat refleksi ilmiah manusia mengambil jarak dari
penghayatan dan melihatnya dengan secara sistematis, metodis, analitis, kritis
dan rasional.[10]
Dengan demikian, kerja sama antara rasio dan pengalaman adalah hal yang mutlak
perlu karena ada relasi dependensi antara keduanya dalam menghasilkan
pengetahuan yang mengandung dalamnya kebenaran yang sejati. Salah satu contoh
dari relasi dependensi ini, dapat diambil dari pandangan atas buku doa. Buku
doa adalah refleksi atas hidup doa yang mendalam, baik dan benar. Oleh karena
itu, buku ini tampil bukan sebagai penghayatan atas doa melainkan refleksi atas
penghayatan hidup doa sehingga haruslah bersifat ilmiah agar hidup doa yang
mendalam, baik dan benar dapat sungguh dipahami. Tapi apakah refleksi ini
mengganggu hidup doa ? Tentu saja tidak, namun justru mendukung penghayatan
hidup doa karena dari padanya manusia dimampukan untuk memahami penghayatannya
atas doa secara mendalam, baik dan benar sehingga dapat mengarahkan hidup
doanya sesuai pemahaman itu.
5.
Kebenaran
Sebagai Asal dan Tujuan Rasio juga Pengalaman (Refleksi Kritis Atas Devaluasi
Terhadap Rasio dan Pengalaman)
Pada prinsipnya
kebenaran dapat dimengerti sebagai hasil kerja intelek yang sesuai atau sepadan
dengan realitas dan diartikulasikan secara tepat.[11]
Pengertian ini mengandung maksud bahwa kebenaran adalah predikat atas sebuah
keputusan atau pertimbangan yang dibuat oleh daya rasio manusia sebagai respon
atas pengalaman empirik manusia dan predikat ini merupakan sifat transenden
dari manusia. Sehingga dapatlah dikatakan bahwa dalam diri manusia terkandung
hasrat untuk mencapai kebenaran.
Konsekuensi dari
pemaknaan tersebut, adalah rasio dan pengalaman sebagai bagian dari manusia
berasal dan senantiasa terarah pada kebenaran. Sehingga kebenaran tidaklah dibatasi hanya
pada pengetahuan yang bersifat ilmiah, tapi juga pengetahuan yang bersifat penghayatan.
Karena jika hakikat kebenaran dikaji lebih jauh lagi, maka akan ditemukan bahwa
kebenaran terdiri dari dua lapisan yang saling berkaitan satu sama lain.[12]
Lapisan yang dimaksud adalah kebenaran ontik dan kebenaran epistemologis. Bahwa
sesuatu dapat dikatakan mengandung dalamnya kebenaran sejati bila sesuatu itu
sungguh ada (dapat ditangkap oleh panca indra) dan dapat diterima oleh intelek
sehingga dapat pula dijelaskan.
Fakta di atas
menegaskan bahwa rasio dan pengalaman merupakan bagian dari manusia yang
dengannya dan melaluinya manusia dimampukan untuk setia pada kebenaran sebagai
sifat transendental seorang manusia. Atau dengan kata lain, rasio dan
pengalaman berasal dari kebenaran (sifat transcendental manusia) serentak pula
kebenaran adalah akhir tujuan hidup manusia dan kesanalah rasio dan pengalaman
mengarah. Sehingga dalam mengusahakan sebuah pengetahuan sebagai kebenaran,
manusia tak bisa hanya bertumpu pada daya rasio atau daya pengalaman semata
apalagi sampai dengan mendevaluasi rasio atau pengalaman. Karena jika itu
sampai dilakukan maka tak akan pernah ada kebenaran yang sejati yang dimengerti
sebagai veritas est adequatio intellectus
cum re.[13]
Memisahkan rasio dari pengalaman sebagai sumber pengetahuan yang sejati
ibaratnya memisahkan jiwa dari tubuh, dan mengatakan bahwa jiwalah substansi
terpenting sedangkan jiwa tidak sambil menutup mata bahwa manusia yang sejati
adalah kesatuan tubuh dan jiwa.[14]
Akibatnya tak pernah bisa memahami manusia secara utuh, dan kekacauan bisa
terjadi bila pemahaman atas manusia dikomparasikan dengan fakta-fakta yang
keluar dari manusia itu sendiri. Untuk itu bagi kaum empiris dan kaum
rasionalis, perlu sebuah sikap kerendahan hati dan keterbukaan total atas
kenyataan ini.[15]
Karena masalah utama bukan terletak pada memperjuangkan apa yang diyakini
sebagai sebuah kebenaran yang tertutup pada kritik karena dianggap sebagai
kebenaran yang paling benar, tapi lebih dari pada itu adalah menyadari hakikat
dari apa yang diyakini dan apa yang ditentang dan mengarahkan hal itu pada
kebenaran yang sejati sebagai asal dan tujuan dari hakikat keyakinan kita yang
sebenarnya.
6.
Kesimpulan
Kebenaran adalah
kesesuaian intelek dengan realitas. Dalam kesesuaian tersebut terkandung
perbedaan antara intelek yang pada hakikatnya adalah hidup itu sendiri dan
intelek yang tak lain adalah rasio itu sendiri. Jika dipandang sebagai cara
manusia untuk sampai pada kebenaran, perbedaan tersebut mengakibatkan rasio dan
pengalaman sebagai dua hal yang saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
Namun jika dipandang dalam konteks tujuan akhir dari keduanya yang adalah
kebenaran, nyatalah bahwa keduanya saling membutuhkan dan saling memperkaya
dalam mencapai tujuan yang sama, itulah kebenaran. Dalam usaha untuk memahami
relasi ketergantungan tersebut, penghayatan dan refleksi ilmiah hadir sebagai
dua cara berpikir yang berbeda karena menekankan aspek cara memperoleh
pengetahuan, namun pada hakekatnya sama karena berasal dari hidup dan mengarah
pada kebenaran yang adalah hidup itu sendiri. penghayatan adalah pengakuan
manusia atas kebenaran dan refleksi ilmiah adalah sumber penjelasan atas
pengakuan tersebut. Dengan demikian, keduanya adalah dua bentuk berpikir yang
berbeda essensinya, namun tak bisa dipisahkan satu sama lain.
v Daftar Pustaka
1. Snijders,
Adelbert. 2006. Manusia dan Kebenaran.
Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
2. Nujartanto,
Bayu. 2014. Traktat Epistemologi
3. Sonny
Keraf & Mikhael Dua. Tahun . Ilmu
Pengetahuan, Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta : Penerbit Kanisius.
4. Martin
Heidegger, being and time, tranl. By. John macqarrie and Edward robinson (new
York : harper).
5. Ohoitimur,
Yong. 2014. Metafisika Aquinas :
Sifat-sifat Transendental Pengada.
6. L.
Bagus. 1996. Kamus Filsafat. Jakarta
: Penerbit Gramedia. Hlm. 412-419
7. Ohoitimur,
Johanis. 2006. Metafisika Sebagai
Hermeneutika. Jakarta : Penerbit Obor. Hlm. 65-70
Hardono, Hadi P.
2001. Epistemology, Filsafat Pengetahuan.
Yogyakarta : Kanisius. Hal. 24
[1] Snijders,
Adelbert. 2006. Manusia dan Kebenaran.
Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Hlm. 12
[2] Ohoitimur,
Yong. 2014. Metafisika Aquinas :
Sifat-sifat Transendental Pengada. Hlm. 13
[3] Ibid,. Hlm. 12
[4] Nujartanto,
Bayu. 2014. Traktat Epistemologi. Hlm.
2
[5] Sonny Keraf
& Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan,
Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Hlm. 30-31
[6] Martin
Heidegger. Being and Time, diterjemahkan
oleh John Macqarrie and Edward Robinson (New York : Harper). Hlm. 256
[7] Bdk. Sonny Keraf
& Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan,
Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Hlm. 43-49
[8] Ibid,. Hal. 56-64
[9] Ini adalah
sebuah istilah yang diciptakan oleh Walgrave dalam bukunya : Kultuurleven. Istilah ini dikutip dari
buku : Snijders, Adelbert. 2006. Manusia
dan Kebenaran. Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Hlm. 113
[10] Snijders,
Adelbert. 2006. Manusia dan Kebenaran.
Yogyakarta : Penerbit Kanisius. Hlm. 114-122
[11] Ohoitimur,
Yong. 2014. Metafisika Aquinas :
Sifat-sifat Transendental Pengada. Hlm. 12
[12] Ibid,.
[13] L. Bagus. 1996.
Kamus Filsafat. Jakarta : Penerbit
Gramedia. Hlm. 412-419
[14] Ohoitimur,
Johanis. 2006. Metafisika Sebagai
Hermeneutika. Jakarta : Penerbit Obor. Hlm. 65-70
[15] Hardono, Hadi P.
2001. Epistemology, Filsafat Pengetahuan.
Yogyakarta : Kanisius. Hal. 24
No comments:
Post a Comment