Ø TESIS :
Daya intelektual adalah unsur substansial manusia
dan berasal dari dunia Ide-Ide dan kelak akan kembali ke dunia Ide-Ide. Untuk
itu, manusia diharuskan senantiasa menjaga keutuhan jiwa dengan memiliki
pengetahuan yang mana dari padanya jiwa senantiasa bersatu dengan dunia Ide-Ide.
Ø PENJELASAN :
1.
Dunia
Ide-Ide Sebagai Bagian Dari Realitas
Menurut
Plato, realitas terdiri dari dua dunia, yaitu dunia inderawi dan dunia Ide-Ide.[1]
Perbedaan mendasar dari dua dunia tersebut, terletak pada kebakaan. Dalam dunia
inderawi, perubahan adalah unsur substansial. Bahwa segala sesuatu dalam dunia
inderawi tidak terlepas dari perubahan. Segala sesuatu yang dimaksud merujuk
pada benda-benda material yang dapat ditangkap oleh panca indera. Misalnya saja
: seorang bayi yang kini tertawa karena telah disusui hingga kenyang, sebentar
akan menangis karena lapar. Atau dengan kata lain, dalam dunia inderawi tidak
ada aktualitas tanpa potensialitas.
Hal
tersebut tidak berlaku dengan dunia Ide-Ide. Dalam dunia ini, yang ada hanyalah
aktualitas murni tanpa potensialitas. Ide-Ide yang mendiami dunia ini bersifat
kekal dan tak terubahkan. Kekekalan dan ketakberubahan tersebut memiliki
konsekuensi, bahwa Ide-Ide tidak tergantung pada benda-benda material, kendati
terungkap lewat benda-benda material. Hal itulah yang menjadi hubungan antara
dunia material dan dunia Ideal. Bahwa meja yang kini terlihat bagus, bisa saja
rusak karena bencana atau pun dirusakkan oleh manusia sendiri. Kendati
demikian, Ide tentang meja tidaklah rusak dengan rusaknya meja tersebut.
Kekekalan dan ketidakberubahan Ide-Ide yang dimaksudkan itulah alasan mengapa
sampai ketika sebuah benda material hancur, pengenalan akan benda material yang
sama (dalam artian bentuk yang merujuk pada fungsi khusus benda material) tetap
abadi. Untuk lebih jelasnya, Plato menjelaskan secara detail hubungan antara
dunia material dengan dunia Ideal dalam tiga cara[2],
yaitu : (1) Ide hadir dalam dunia konkrit. Maksudnya adalah bahwa kemampuan
untuk mengenali benda-benda material mungkin terjadi karena manusia memiliki Ide-Ide
tentang benda-benda material yang ada. Misalnya : Adalah sebuah kemustahilan
jika manusia berbicara mengenai bunga, jika ia sama sekali tidak memiliki Ide
tentang bunga itu sendiri. Sesuatu hanya bisa dijelaskan secara utuh jika
adanya Ide tentang sesuatu yang hendak dijelaskan itu. (2) Adanya Ide-Ide
terungkap dalam prinsip partisipasi dalam benda-benda konkret. Partisipasi
berarti mengambil bagian dalam objek yang diartisipasikan secara terbatas. Dengan
demikian prinsip partisipasi menggambarkan adanya persatuan antara satu atau
beberapa Ide dalam sebuah benda konkret. Maksudnya adalah bahwa dalam
pengenalan atas benda-benda konkret (atau dengan kata lain, kepemilikan atas Ide-Ide
tentang sesuatu), sebagaimana dijelaskan diatas merupakan syarat utama
pengenalan yang utuh menjadi mungkin. Misalnya : Suara merdu, maka suara itu
mengambil bagian dalam Idea suara dan merdu. Hal yang perlu dicatat, adalah
bahwa kendati dalam benda-benda konkret terjadi persatuan antara beberapa Ide,
essensi dari Ide-Ide yang berpartisipasi tersebut tidak dikurangi. Setiap Ide
berdiri sendiri sesuai essensinya. (3) Cara model (paradeigma), yaitu bahwa Ide merupakan model atau contoh dari
benda-benda konkret. Maksudnya adalah bahwa adanya Ide merupakan alasan
satu-satunya dari adanya benda-benda konkret. Misalnya : lewat Ide tentang
meja, lahirlah meja sebagai benda konkret. Kendati demikian, eksistensi benda
konkret merupakan bentuk tak sempurna dari Ide. Dikatakan demikian, karena
aktualitas Ide dalam dunia material bersifat terbatas karena eksistensi sarana
pengungkapan aktualitas Ide bersifat material sehingga tak sempurna sama
seperti Ide. Benda konkret hanya merupakan model dari Ide karena tidak bersifat
kekal dan tak berubah sama seperti Ide.
2.
Apakah
jiwa itu ?[3]
Manusia
menurut Plato, adalah suatu kesatuan aksidental antara jiwa dan tubuh. Kesatuan
aksIdental berarti kesatuan yang dalamnya eksistensi objek-objek yang bersatu
berdiri sendiri. Itulah mengapa Plato berpandangan bahwa pada hakekatnya jiwa
dan tubuh itu berlainan satu sama lain dan berada bersama sebagai manusia hanya
dalam tempo sementara. Pandangan ini merupakan konsekuensi dari pemisahan yang
dibuat oleh Plato atas pengetahuan intelektif dan pengetahuan inderawi, dimana
akhirnya ia lantas membedakan jiwa dan tubuh.
Lantas,
apakah jiwa itu ? Menurut Plato, asal dan hakekat jiwa tak lain dari Ide yang
sebelumnya hidup dalam dunia Ide-Ide. Dengan demikian jiwa adalah unsur
substansial manusia, karena dari padanya tubuh beroleh daya gerak. Hal ini
dipaparkan Plato dalam dialognya yang berjudul Timaios (Timeus). Dalam dialog itu Plato menceritakan bahwa jiwa
manusia diciptakan oleh Demiurgos dengan mencontohi Ide-Ide kemudian
menyebarkannya ke dalam kosmos. Setelah itu, jiwa bereksistensi dalam tubuh
yang mana tubuh sendiri diciptakan oleh dewa-dewa kecil.
3.
Daya
intelektual sebagai unsur substansial jiwa
Langkah
selanjutnya dalam memahami apa itu jiwa, Plato lewat dialognya yang berjudul Politeia menekankan bahwa jiwa hendaknya
dimengerti berdasarkan fungsinya. Fungsi tersebut tak lain dari essensi dari
jiwa. Essensi adalah prinsip limitasi, yang mana dari padanya jiwa
bereksistensi sebagaimana seharusnya. Untuk itu ia membedakan jiwa dalam tiga
fungsi, yaitu bagian rasional, bagian keberanian dan bagian keinginan. Ketiga
bagian ini terhubung satu sama lain lewat keutamaan-keutamaan yang dimiliki oleh
masing-masing bagian. Dalam konteks itu, bagian rasional dihubungkan dengan
kebijaksanaan, bagian keberanian dihubungkan dengan keberanian dan bagian
keinginan dihubungkan dengan keugaharian (sophrosyne)[4]. Ketiga
bagian jiwa tersebut lantas dalam relasinya diseimbangkan oleh keadilan.
Dari
ketiga fungsi ini, yang bersifat baka hanyalah bagian rasional. Bagian rasional
yang dimaksud Plato tak lain merujuk pada daya intelektual manusia. Daya
intelektual merupakan kemampuan kodrati manusia. Dari padanya manusia bisa
memiliki pengetahuan karena daya intelektual memampukan untuk memahami,
berpikir dan bertanya tentang segala sesuatu. Inilah yang membedakan manusia
dengan segala makhluk lain yang ada di muka bumi. Semua ini membuktikan bahwa
substansi dari jiwa sebagai bagian rasional, adalah daya intelektual itu
sendiri.
4.
Mengusahakan
Kebakaan jiwa
Diatas
telah dijelaskan bahwa jiwa hendaknya dipahami berdasarkan fungsinya. Dari
pembagian itu, bagian rasional merupakan hakekat utama dari jiwa yang bersifat
abadi. Dalam dialognya Phaidros, Plato mengisahkan ketiga
fungsi jiwa dalam sebuah gambaran tentang seorang sais dengan dua kuda
bersayap. Sais adalah bagian rasional dari jiwa, yang pada hakekatnya selalu
memandang ke kerajaan Ide-Ide. Atau dengan kata lain, bagian rasional jiwa
senantiasa mengarahkan dirinya pada kerajaan Ide-Ide karena dari sanalah jiwa
berasal. Bagian rasional jiwa dalam keterarahannya pada kerajaan Ide-Ide
ditarik ke atas oleh kuda bersayap yang melambangkan bagian lain dari jiwa
seturut fungsinya, yaitu bagian keberanian, yang merujuk pada segala sesuatu
yang baik dan indah. Lewat bagian keberanian, bagian rasional jiwa bisa
menggapai langit tertinggi dimana ia dapat memandang kerajaan Ide-Ide yang
adalah asal dan tujuan akhir jiwa. Kendati demikian, usaha itu dihalangi oleh
bagian keinginan yang dilambangkan seekor kuda yang lain. Keinginan bersifat
buruk dan jahat, sehingga selalu berusaha tertarik ke bawah. Konsekuensinya
kedua kuda tersebut kehilangan sayap dan jatuh ke bumi. Akibatnya jiwa lantas
terpenjara dalam tubuh. Lewat dialog Phaidros
tersebut, Plato menjelaskan secara mitologis bahwa sifat bagian rasional
jiwa adalah kekal dan tak dapat mati karena jiwa berasal dari Ide. Jiwa berasal
dari Ide yang hidup di kerajaan Ide-Ide dan kelak akan kembali kesana. Kendati
demikian, untuk mengusahakan hal tersebut, bukanlah hal mudah karena bagian
jiwa yang adalah keinginan senantiasa membuat manusia terpikat pada kebahagiaan
sesaat. Akibatnya jiwa semakin terperangkap dalam penjara tubuh karena tak
mampu memandang dunia Ide-Ide. Untuk
itu, manusia hendaknya mengusahakan pengetahuan yang mana dari padanya
substansi jiwa sebagai bagian rasional yang adalah daya intelek bisa diperkaya.[5]
Kekayaan intelektual itu memampukan manusia untuk senantiasa mengarahkan
manusia pada kebaikan, sehingga bagian keberanian mampu mengalahkan bagian
keinginan. Dengan demikian, jiwa dapat senantiasa mengarahkan pandangannya pada
kerajaan Ide-Ide dan kembali kesana setelah kematian tubuh.
Dari
situ muncul pertanyaan, apakah pengetahuan itu ? Pengetahuan adalah hasil
penalaran atau pengertian yang benar atas realitas. Lewat pengetahuan manusia
dimampukan untuk memiliki pengertian tentang apa artinya kebenaran, karena
kebenaran merupakan predikat dari pertimbangan atau keputusan yang dibuat oleh
daya nalar.[6]
Penalaran yang dimaksud, adalah penalaran yang diperoleh berdasarkan proses
ilmiah. Dari padanya manusia dimampukan untuk mengenali dirinya sendiri secara
utuh dan mengarahkan dirinya pada kebaikan dan kebahagiaan sejati. Kebaikan dan
kebahagiaan sejati yang dimaksud adalah keterarahan perbuatan manusia pada
kesesuaian perbuatan dengan essensinya, yang mana lewat keterarahan tersebut
jiwa manusia senantiasa terarah pada sifat aslinya; itulah kekekalan.
5. Kesimpulan
Manusia
merupakan kesatuan aksidens antara jiwa dan tubuh. Jiwa adalah unsur
substansial manusia yang berasal dari dunia Ide-Ide yang oleh Plato
disebut Hyperouranos (hyper : di atas; ouranos : surga, langit).
Persatuan aksIdental jiwa dan tubuh disebabkan oleh Demiurgos yang setelah
menciptakan jiwa dari Ide-Ide dalam Hyperouranos, lantas menyebarkan jiwa ke
dalam kosmos. Dalam hal ini, tubuh lantas menjadi wadah bagi berdiamnya jiwa.
Dengan kata lain, jiwa adalah daya gerak bagi tubuh karena essensi jiwa yang
adalah Ide-Ide memungkinkan tubuh memiliki daya gerak dan pengenalan atas
segala sesuatu yang ada di bumi. Kendati demikian, tubuh memiliki keterbatasan
dalam memahami jiwa dan membatasi jiwa dalam bereksistensi sesuai essensinya
yang adalah kebaikan. Ide-Ide berasal dari kebaikan. Keterbatasan tubuh yang
dimaksudkan adalah keinginan-keinginan tubuh untuk selalu menggapai
kenikmatan-kenikmatan yang fana. Hal itu menjadi ancaman bagi eksistensi jiwa
kelak setelah terpisah dari tubuh. Oleh karena itulah ilmu pengetahuan
dibutuhkan sebagai sarana yang dari padanya tubuh diarahkan kepada pengenalan
atas konsep baik – tidak baik. Ilmu pengetahuan adalah hasil penalaran manusia
yang diperoleh berdasarkan proses ilmiah yang mana dari padanya manusia
dimampukan untuk mengenali dirinya sendiri secara utuh dan mengarahkan dirinya
pada kebaikan dan kebahagiaan sejati, sehingga eksistensi jiwa dapat senantiasa
sesuai dengan essensinya yang adalah kebaikan itu sendiri dan kelak dapat
kembali ke dunia Ide-Ide dalam kebakaannya.
Ø DAFTAR PUSTAKA
1. Harun
Hadiwijono. 1980. sari sejarah filsafat barat
1. yogyakarta: Kanisisus.
2. Bertens,
K.1999. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi).Yogyakarta: Kanisius.
3. Nujartanto,
Bayu. 2014. Traktat Alam Pemikiran Yunani Kuno.
Prof. Dr. Yong
Ohoitimur, MSC. 2014. Metafisika Aquinas
: Sifat-sifat Transendental Pengada.
[2] Bdk. Bertens,
K.1999. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi).Yogyakarta: Kanisius.
Hlm. 108 & Nujartanto, Bayu. 2014. Traktat Alam Pemikiran Yunani Kuno. Hlm.
82
[3] Nujartanto,
Bayu. 2014. Traktat Alam Pemikiran Yunani Kuno. Hlm. 82
[4] Kata ini
merujuk pada sebuah istilah filsafat Yunani yang berarti kesehatan pikiran dan
dari sanalah penguasaan diri berasal, karena kesehatan pikiran merujuk pada pengetahuan
yang diperoleh memampukan manusia menyeimbangkan pikiran, perkataan dan
perbuatannya. Pengertian ini diambil dari : http://en.m.wikipedia.org/wiki/Sophrosyne, pada tanggal
21 November 2014, Pkl. 19.38 WITA
[5] Hadiwijono,
Harun. 1980. Sari Sejarah Filsafat Barat
1. Jogjakarta : Kanisius. Hlm. 42
[6] Bdk. Prof. Dr.
Yong Ohoitimur, MSC. 2014. Metafisika
Aquinas : Sifat-sifat Transendental Pengada. Hlm. 12
No comments:
Post a Comment