Sunday, December 14, 2014

GEREJA SEBAGAI PERSEKUTUAN KELUARGA ALLAH (Sebuah Refleksi Atas Makna Gereja Dengan Berdasar Pada Pengalaman Hidup Harian)



Saya terlahir dalam keluarga yang telah memeluk agama Katolik sejak lahir. Hal tersebut mengakibatkan rahmat pembaptisan yang saya diterimakan kepada saya tidak perlu menunggu hingga saya bisa sungguh memahami apa artinya menjadi seorang katolik. Kendati demikian, saya tidak pernah menyesali rahmat pembaptisan tersebut. Saya merasa bangga menjadi seorang katolik yang bukan hanya memiliki struktur hirarki yang jelas, tapi juga ragam literature yang memuat ajaran iman Gereja; yang mana dari padanya iman kekatolikan dijelaskan. Semua itu meyakinkan saya bahwa Gereja Katolik adalah persekutuan orang beriman yang dasar dan tujuan hidup mengarah hanya pada Kristus. Dengan kata lain, Gereja merupakan pra-lambang kehadiran nyata Kristus di dunia; dari padanya Kristus sungguh hadir dan menyertai sejarah perjalanan hidup manusia.
Pemahaman tersebut merupakan inti sari rangkaian pengalaman hidup saya sebagai orang katolik. Sewaktu masih kecil 7-10 tahun, Gereja saya pahami sebagai tempat dimana orang-orang katolik berkumpul dan merayakan perjamuan ekaristi. Dengan kata lain, dalam umur tersebut Gereja masih saya pahami sebatas bangunan fisik semata. Spiritualitas yang terkandung dalamnya sama sekali belum saya pahami. Namun semenjak masuk seminari menengah St. Yohanis Maria Vianney – Saumlaki, persepsi tersebut perlahan berubah. Lewat ragam literatur yang saya baca dan rujukannya terhadap pengalaman riil hidup mengGereja bersama dengan umat, saya lantas mulai memahami bahwa Gereja bukanlah sebuah “nama” yang merujuk pada bangunan tempat ibadah umat Kristiani; khususnya umat Katolik semata. Semangat persaudaraan yang ada dalamnya sebagai satu keluarga dalam Allah merupakan jawaban mengapa sampai Gereja berperan penting juga sangat berarti dalam penghayatan iman kekatolikan.
Gereja berasal dari Kristus karena didirikan oleh Kristus sendiri. (Bdk. Mat 16 : 18) Kenyataan ini menunjukkan bahwa mereka yang menghayati imannya dalam persekutuan dengan Gereja hendaknya hidup seturut pola hidup Kristus. Dengan kata lain, penghayatan iman bersama dengan Gereja hendaknya merujuk pada pola hidup Kristus; yang mana merupakan spiritualitas hidup iman kekatolikan. Pemahaman tersebut lantas membuat saya mengerti bahwa mengapa sampai hierarki Gereja merupakan pengejewantahan kuasa Kristus, dipanggil untuk menjadi saksi dan tanda nyata kehadiran Kristus di tengah-tengah dunia. Lewat Gereja, kesatuan umat Allah dengan Allah sendiri menjadi hal yang nyata di tengah dunia. Dengan demikian, Gereja bukanlah “nama” dari bangunan fisik tempat peribadatan umat Kristiani, tapi sebagai sebuah wujud persekutuan umat Allah dengan Allah sendiri. Persekutuan yang hanya bisa sungguh terwujud nampak bilamana umat Allah mampu mengusahakan hidup sebagaimana yang diajarkan oleh Kristus sendiri. Hidup yang hendaknya senantiasa diwarnai dengan kasih tanpa batas kepada Allah juga sesama.
Salah satu contoh pengalaman yang menyadarkan saya akan hal tersebut, adalah pengalaman saat mengalami pertandingan olahraga volley antar rukun menjelang perayaan natal tahun 2008 di paroki saya; paroki St. Maria Ratu Rosario – Olilit Timur. Kendati selama pertandingan berlangsung, cek-cok dan saling hujat sering terjadi dan dilemparkan kepada tim lawan; sebagaimana halnya dalam setiap kompetisi, bahkan hingga sempat hamper terjadi perkelahian antara rukun kami dengan tim lawan karena ketidakpuasan atas keputusan wasit, peristiwa tersebut hanya berlangsung di lapangan. Usai pertandingan, mereka bersama-sama mendoakan doa Angelus dan pulang tanpa rasa dendam antara satu dengan yang lain.
Bagi saya, hal itu bukan hanya mungkin terjadi karena persepsi adalah wajar jika terjadi perselisihan dalam kompetisi, melainkan karena mereka sungguh menyadari bahwa mereka semua bersaudara satu sama lain. Apa yang mereka tampilkan adalah wujud kesadaran mereka akan pentingnya mengusahakan hidup yang diwarnai semangat kekeluargaan. Dimana dalam semangat kekeluargaan selalu terkandung cinta kasih yang mendalam dan tak berbatas antara satu dengan yang lain.
Selain itu, hal yang menarik bagi saya adalah semangat kekeluargaan dalam Allah bisa dihidupi dalam hubungannya dengan nilai kekeluargaan yang dihidupi masyarakat tanimbar lewat budaya Duan-Lolat. Memandang sesama sebagai satu keluarga, bukanlah hal asing bagi masyarakat tanimbar, karena itulah substansi orang tanimbar. Semangat tersebut lantas dalam hidup menggereja dimaknai sebagai kesatuan sebagai umat Allah. Sesama adalah saudara karena bersama dengan sesama menjadi bagian dari keluarga Allah. Konsekuensinya adalah ajaran untuk mencintai sesama, bukanlah hal baru bagi masyarakat tanimbar. Dengan kata lain, masyarakat tanimbar boleh sungguh memahami dan menghayati serta menampakkan semangat kekeluargaan dalam hidup mengGereja sebagai wujud kesadaran akan jati diri mereka sebagai keluarga Allah, karena semangat kekeluargaan adalah budaya yang telah mendarah daging dalam diri masyarakat tanimbar. Itulah mengapa sampai kendati sering terjadi selisih pendapat dalam umat, perselisihan tersebut bisa diselesaikan dengan pendekatan kekeluargaan. Dengan menyadari sesama adalah keluarga dan setiap orang katolik dipanggil untuk mencintai Allah dan sesama seperti mencintai diri sendiri, persepsi Gereja sebagai nama bangunan tempat peribadatan pun runtuh. Gereja bukan tempat berkumpul dan beribadah semata, tapi lebih dari itu Gereja adalah perwujudan semangat kekeluargaan dalam Allah yang dalamnya setiap orang menyadari dan mengusahakan hidup yang serupa dengan Kristus; hidup yang senantiasa diwarnai dengan cinta kepada Allah dan sesama seperti cinta akan diriNya sendiri.

No comments:

Post a Comment