Saya terlahir dalam keluarga yang telah memeluk
agama Katolik sejak lahir. Hal tersebut mengakibatkan rahmat pembaptisan yang
saya diterimakan kepada saya tidak perlu menunggu hingga saya bisa sungguh
memahami apa artinya menjadi seorang katolik. Kendati demikian, saya tidak
pernah menyesali rahmat pembaptisan tersebut. Saya merasa bangga menjadi
seorang katolik yang bukan hanya memiliki struktur hirarki yang jelas, tapi
juga ragam literature yang memuat ajaran iman Gereja; yang mana dari padanya
iman kekatolikan dijelaskan. Semua itu meyakinkan saya bahwa Gereja Katolik
adalah persekutuan orang beriman yang dasar dan tujuan hidup mengarah hanya
pada Kristus. Dengan kata lain, Gereja merupakan pra-lambang kehadiran nyata
Kristus di dunia; dari padanya Kristus sungguh hadir dan menyertai sejarah
perjalanan hidup manusia.
Pemahaman tersebut merupakan inti sari rangkaian
pengalaman hidup saya sebagai orang katolik. Sewaktu masih kecil 7-10 tahun, Gereja
saya pahami sebagai tempat dimana orang-orang katolik berkumpul dan merayakan
perjamuan ekaristi. Dengan kata lain, dalam umur tersebut Gereja masih saya
pahami sebatas bangunan fisik semata. Spiritualitas yang terkandung dalamnya
sama sekali belum saya pahami. Namun semenjak masuk seminari menengah St.
Yohanis Maria Vianney – Saumlaki, persepsi tersebut perlahan berubah. Lewat
ragam literatur yang saya baca dan rujukannya terhadap pengalaman riil hidup
mengGereja bersama dengan umat, saya lantas mulai memahami bahwa Gereja
bukanlah sebuah “nama” yang merujuk pada bangunan tempat ibadah umat Kristiani;
khususnya umat Katolik semata. Semangat persaudaraan yang ada dalamnya sebagai
satu keluarga dalam Allah merupakan jawaban mengapa sampai Gereja berperan
penting juga sangat berarti dalam penghayatan iman kekatolikan.
Gereja berasal dari Kristus karena didirikan oleh
Kristus sendiri. (Bdk. Mat 16 : 18) Kenyataan ini menunjukkan bahwa mereka yang
menghayati imannya dalam persekutuan dengan Gereja hendaknya hidup seturut pola
hidup Kristus. Dengan kata lain, penghayatan iman bersama dengan Gereja
hendaknya merujuk pada pola hidup Kristus; yang mana merupakan spiritualitas
hidup iman kekatolikan. Pemahaman tersebut lantas membuat saya mengerti bahwa
mengapa sampai hierarki Gereja merupakan pengejewantahan kuasa Kristus,
dipanggil untuk menjadi saksi dan tanda nyata kehadiran Kristus di
tengah-tengah dunia. Lewat Gereja, kesatuan umat Allah dengan Allah sendiri
menjadi hal yang nyata di tengah dunia. Dengan demikian, Gereja bukanlah “nama”
dari bangunan fisik tempat peribadatan umat Kristiani, tapi sebagai sebuah
wujud persekutuan umat Allah dengan Allah sendiri. Persekutuan yang hanya bisa
sungguh terwujud nampak bilamana umat Allah mampu mengusahakan hidup
sebagaimana yang diajarkan oleh Kristus sendiri. Hidup yang hendaknya
senantiasa diwarnai dengan kasih tanpa batas kepada Allah juga sesama.
Salah satu contoh pengalaman yang menyadarkan saya
akan hal tersebut, adalah pengalaman saat mengalami pertandingan olahraga
volley antar rukun menjelang perayaan natal tahun 2008 di paroki saya; paroki
St. Maria Ratu Rosario – Olilit Timur. Kendati selama pertandingan berlangsung,
cek-cok dan saling hujat sering terjadi dan dilemparkan kepada tim lawan;
sebagaimana halnya dalam setiap kompetisi, bahkan hingga sempat hamper terjadi
perkelahian antara rukun kami dengan tim lawan karena ketidakpuasan atas
keputusan wasit, peristiwa tersebut hanya berlangsung di lapangan. Usai
pertandingan, mereka bersama-sama mendoakan doa Angelus dan pulang tanpa rasa
dendam antara satu dengan yang lain.
Bagi saya, hal itu bukan hanya mungkin terjadi
karena persepsi adalah wajar jika terjadi perselisihan dalam kompetisi,
melainkan karena mereka sungguh menyadari bahwa mereka semua bersaudara satu
sama lain. Apa yang mereka tampilkan adalah wujud kesadaran mereka akan
pentingnya mengusahakan hidup yang diwarnai semangat kekeluargaan. Dimana dalam
semangat kekeluargaan selalu terkandung cinta kasih yang mendalam dan tak
berbatas antara satu dengan yang lain.
Selain itu, hal yang
menarik bagi saya adalah semangat kekeluargaan dalam Allah bisa dihidupi dalam
hubungannya dengan nilai kekeluargaan yang dihidupi masyarakat tanimbar lewat
budaya Duan-Lolat. Memandang sesama sebagai satu keluarga, bukanlah hal asing
bagi masyarakat tanimbar, karena itulah substansi orang tanimbar. Semangat
tersebut lantas dalam hidup menggereja dimaknai sebagai kesatuan sebagai umat
Allah. Sesama adalah saudara karena bersama dengan sesama menjadi bagian dari
keluarga Allah. Konsekuensinya adalah ajaran untuk mencintai sesama, bukanlah
hal baru bagi masyarakat tanimbar. Dengan kata lain, masyarakat tanimbar boleh
sungguh memahami dan menghayati serta menampakkan semangat kekeluargaan dalam
hidup mengGereja sebagai wujud kesadaran akan jati diri mereka sebagai keluarga
Allah, karena semangat kekeluargaan adalah budaya yang telah mendarah daging
dalam diri masyarakat tanimbar. Itulah mengapa sampai kendati sering terjadi
selisih pendapat dalam umat, perselisihan tersebut bisa diselesaikan dengan
pendekatan kekeluargaan. Dengan menyadari sesama adalah keluarga dan setiap
orang katolik dipanggil untuk mencintai Allah dan sesama seperti mencintai diri
sendiri, persepsi Gereja sebagai nama bangunan tempat peribadatan pun runtuh.
Gereja bukan tempat berkumpul dan beribadah semata, tapi lebih dari itu Gereja
adalah perwujudan semangat kekeluargaan dalam Allah yang dalamnya setiap orang
menyadari dan mengusahakan hidup yang serupa dengan Kristus; hidup yang
senantiasa diwarnai dengan cinta kepada Allah dan sesama seperti cinta akan
diriNya sendiri.
No comments:
Post a Comment