Sunday, December 14, 2014

Peran Jiwa Dalam Keterarahan Manusia Kepada “Yang Satu” Sebagai Prinsip Asali Realitas.



I.       Tesis :
Kodrat manusia adalah persatuan antara jiwa dan materi. Adanya jiwa dan tubuh berasal dari “Yang Satu”. Kendati demikian, pada manusia jiwa dan tubuh memiliki kecenderungan yang berbeda satu sama lain. Jiwa terarah pada “Yang Satu”, sedangkan materi lebih terarah pada kebutuhan material dimana kebahagiaan duniawi menjadi tujuan. Untuk itu, manusia hendaknya mengusahakan askese, kontemplasi dan ekstase sehingga manusia bisa kembali bersatu dengan “Yang Satu”.

II.    Pembahasan
v  Siapakah Plotinus ?
Plotinus adalah seorang filsuf Yunani yang lahir di Lycopolis, Mesir pada tahun 205 M dan meninggal pada tahun 270 M. Tak banyak keterangan yang bisa diperoleh dalam menjelaskan latar belakang keluarganya dan masa kecilnya, selain keterangan bahwa ia pernah belajar pada seorang guru bernama Saccas selama 11 tahun dan mempelajari filsafat Yunani pada umur 27 tahun. Selama mempelaari filsafat Yunani, ia lebih memfokuskan diri untuk mendalami karya – karya Plato. Pada umurnya yang ke-40; tepatnya pada tahun 244 M, ia tiba di Roma untuk mendirikan sekolah disana dan mengajar filsafat selama 25 tahun. Selama hidupnya, Plotinus tidak pernah menuliskan ajarannya sendiri.[1] Pengenalan atas karya-karyanya secara luas tak lepas dari kerja keras Porphyrios; salah seorang muridnya dengan diterbitkannya kumpulan tulisan dari Plotinus dengan judul “Enneads”[2]. Enneads sendiri berisikan 54 karangan yang berisikan ajaran Plotinus, yang dalam penerbitannya dikelompokkan oleh Porphyrios dalam 9 bagian.[3]
v  “Yang Satu” Sebagai Asal Dari Segala Realitas
Titik tolak ajaran Plotinos adalah “Yang Satu” sebagai pangkal dari segala sesuatu.[4] EssensiNya sebagai “Yang Satu” bukan dalam pengertian waktu dimana Ia adalah yang pertama ada dalam realitas, melainkan karena simplisitasnya. Simplisitas merujuk pada aktualitas murni dari “Yang Satu”; bahwa Ia ada karena Ia adalah prinsip sekaligus tindakan mengada itu sendiri. Atau dengan kata lain, dalam “Yang Satu” essensi sama dengan eksistensi. Konsekuensinya adalah bahwa “Yang Satu” bukanlah substansi dari realitas melainkan asal dari segala hal, karena Ia tidak mengarah pada atribut-atribut dari segala yang ada karena “Yang Satu” bukanlah sebuah komposisi yang dapat disamakan dengan segala yang ada. Ia adalah sesuatu yang adanya mengatasi segala-galanya. Itulah mengapa “Yang Satu” tak dapat disebut dengan merujuk pada suatu atribut tertentu; misalnya kebenaran, karena dari padaNyalah kebenaran berasal serentak pula ia adalah kebenaran itu sendiri karena Ia mengatasi segala kebenaran.
Pemahaman di atas secara langsung menunjukkan bahwa adalah sebuah kesalahan jika “Yang Satu” sebagai asal dari realitas dipahami dalam artian perannya sebagai pencipta. Karena jika demikian, Ia mengidentikkan dirinya dengan ciptaan sekaligus memisahkan dirinya dari ciptaan karena relasi sebab-akibat dalam penciptaan yang mengandaikan adanya pencipta dan obyek yang disatukan, sehingga tak ada kesatuan dalamnya. Konsekuensinya adalah bahwa Ia bukanlah aktualitas murni yang memiliki essensi sama dengan eksistensi. Lantas, bagaimana membuktikan “Yang Satu” sebagai asal dari realitas ? Plotinus menjawab hal ini dengan menggunakan proses emanasi yang adalah usaha menjelaskan adanya realitas dengan bersumber dari “Yang Satu” (proses ontologis).[5] Menurutnya realitas itu ada bukan karena dirinya sendiri tapi karena suatu prinsip asali sebagai sumber daya mengada dari realitas. Prinsip asali yang dimaksud, adalah “Yang Satu”. Oleh karena itu, adanya realitas tak dapat dipisahkan dari adanya “Yang Satu” dan dalam realitas “Yang Satu” hadir, namun bukan sebagai atribut realitas melainkan sebagai prinsip mengada dari realitas. Dengan demikian dapatlah dipahami apa yang Plotinus maksudkan lewat emanasi, yaitu bahwa segala sesuatu mengalir keluar dari padaNya bukan sebagai wujud potensialitas atas aktualitas dari “Yang Satu” melainkan sebagai wujud partisipasional dalam adanya “Yang Satu”, dimana segala sesuatu mengalir keluar begitu saja dari “Yang Satu” bagai air sungai yang mengalir begitu saja.
 


v  Dua Gerakan Dalam Realitas
Inti dari ajaran Plotinos adalah konsep tentang kesatuan, dimana “Yang Satu” adalah prinsip mengada dari segala yang ada dan oleh karena itu pulalah serentak segala sesuatu berhasrat untuk kembali pada “Yang Satu”. Ini adalah pengembangan dari dualisme Plato yang mengajarkan bahwa selain dunia material, masih ada dunia “Ide-ide” sebagai realitas yang sejati. Oleh Plotinus ajaran Plato lantas dikembangkan dengan mendasari ajarannya ada “Yang Satu” sebagai dasar dari dunia Ide sekaligus dunia material. Semua itu menjadi satu dalam “Yang Satu” karena “Yang Satu” adalahh arus hidup bagi segala sesuatu. Dengan kata lain, oleh Plotinus ajaran Plato dihidupkan kembali dengan cara menjadikan “Yang Satu” sebagai daya mengada dari segala yang ada dan menjadi tujuan akhir dari segala sesuatu yang ada.[6] Konsekuensi dari “Yang Satu” sebagai asal dan tujuan dari segala sesuatu, adalah terciptanya dua arah gerak dari realitas, yaitu gerak dari atas ke bawah (asal) dan gerak dari bawah ke atas (tujuan).[7]
a.       Dari atas ke bawah.
Gerak realitas dari atas ke bawah dapat dipahami lewat pemahaman yang didasarkan pada susunan dari segala yang ada sebagai suatu hirarki. Dalam hirarki setiap taraf dari yang ada berasal dari taraf yang lebih tinggi. Proses tersebut disebut emanasi, yang adalah proses keluarnya suatu realitas dari realitas yang sejati dimana oleh Plotinus realitas sejati itulah “Yang Satu” (to Hen). Kendati demikian hal ini tidak berarti bahwa karena “Yang Satu” adalah sumber utama realitas yang menduduki puncak hirarki sehingga bebas mengeluarkan taraf berikutnya secara bebas. Mengapa ? Karena “Yang Satu” sebagai prinsip asali dengan segala yang ada adalah satu kesatuan, sehingga jika Ia mengeluarkan taraf berikutnya secara bebas, berarti tak ada lagi kesatuan dalamnya.[8] Untuk itu, Plotinus menekankan bahwa asal dari segala sesuatu bukanlah penciptaan karena penciptaan mengandaikan adanya aktivitas penciptaan yang membedakan “Yang Satu” sebagai pelaku penciptaan dengan segala yang ada sebagai objek ciptaan, sehingga tak ada lagi kesatuan antara “Yang Satu” dengan semua ciptaan.[9] Oleh karena itu, emanasi bukan merujuk pada sebuah aktus mengada tapi pada prinsip asali yang dari padanya segala sesuatu beroleh dan memiliki daya mengada. Dengan kata lain, adanya realitas bersumber dari “Yang Satu” bukan karena Ia mengadakan/menciptakan realitas tapi karena dalam realitas terkandung keesaan dan kesempurnaan dari “Yang Satu”.

b.      Dari bawah ke atas
Di atas telah dijelaskan bahwa adanya segala sesuatu berasal dari “Yang Satu” melalui emanasi sesuai dengan hirarki ciptaan. Dalam proses asali tersebut juga termuat tujuan dari setiap taraf hirarki, yaitu kembali kepada taraf yang lebih tinggi yang adalah dasar dari setiap hirarki dan seterusnya hingga menuju ke “Yang Satu”. Dengan kata lain, karena segala sesuatu berasal dari daya mengada “Yang Satu”, maka dalam segala sesuatu terkandung pula hasrat untuk kembali pada “Yang Satu”.

v  Darimanakah Jiwa Manusia Berasal ?
Jawaban atas pertanyaan mengenai asal dari manusia dijawab oleh Plotinus lewat Proses emanasi dengan melandaskan pikirannya pada “Yang Satu” sebagai wujud tertinggi (realitas sejati) dan dunia material sebagai wujud terendah. Di antara kedua wujud tersebut, terdapat wujud-wujud lain yang tersusun seturut hirarki ciptaan. Singkatnya Plotinus membagi realitas secara keseluruhan dalam 4 wujud, yaitu :

a.       Yang Satu (to hen)
Plotinus tidak memberikan sebuah definisi mengenai “Yang Satu”, karena definisi mengandaikan adanya atribut-atribut yang merujuk pada yang didefinisikan sebagai dasar dari sebuah pemahaman atas apa yang didefinisikan. Hal itu disebabkan oleh pandangannya bahwa sifat-sifat “Yang Satu” berada di luar jangkauan pemahaman manusia, sehingga Ia tidak dapat dipahami apalagi disamakan dengan segala yang ada; baik dalam hal sifat maupun bentuk. Kendati demikian, Plotinus menempatkan “Yang Satu” sebagai sumber realitas, yang mana dari padanya segala realitas lain berasal.[10] Ia adalah entitas yang mutlak, melampaui segala sesuatu yang ada, baik semua pemikiran dan keberadaan, tidak terbagi-bagi, tanpa pengubahan, kekal sifatnya, tanpa substansi sebagai masa lampau dan sekarang, ia kebenaran pada dirinya. Dapat disebut pula “Yang Ilahi”.[11]
Emanasi dari “Yang Satu” diibaratkan Plotinus dengan api yang memancarkan cahaya. Semakin dekat sesuatu dengan api, semakin terang cahaya api itu menyinari, begitu pun sebaliknya. Pengibaratan ini lantas menempatkan realitas sebagai sebuah rentangan dimana “Yang Satu” dan materi berada pada dua sisi yang berlawanan dan akal dan jiwa terletak di tengahnya[12] sehingga dapatlah dimengerti bahwa materi oleh Plotinus dipandang sebagai wujud terendah dalam realitas karena adanya materi adalah bias akhir dari “Yang Satu”.

b.      Akal (nous)
Akal disini merujuk pada roh dari “Yang Satu”, yaitu dunia ide. Nous berasal dari “Yang Satu”, namun bukanlah “Yang Satu”. Oleh Plotius, nous dipandang tidak sempurna karena dalamnya “Yang Satu” telah membedakan dirinya dalam kedwitunggalan lewat karya akal dan isi akal.[13] Karya akal yang dimaksudkan disini bukanlah sebuah tindakan menguraikan, namun merujuk pada pandangan bahwa karya akal adalah akal itu sendiri yang dengannya dan dalamnya eksistensi nous disadari. Atau dengan kata lain, karya akal adalah daya kesadaran akan eksistensi akal. Sedangkan isi akal adalah Ide-ide yang hidup di dunia Ide.

c.       Jiwa (psyche)
Jikalau nous adalah gambar dari “Yang Satu”, maka jiwa adalah gambar dari nous, atau dengan kata lain jiwa dalam taraf ini merujuk pada jiwa dunia yang mana dalamnya dunia Ide-ide terungkap. Jiwa dunia merupakan daya penginderaan manusia. Selain itu dalam struktur hirarki ciptaan, jiwa terletak antara nous dan materi. Konsekuensi dari letak itu adalah peran jiwa sebagai penghubung antara nous dan materi.  Konsekuensi dari kedua hal tersebut adalah bahwa dalam jiwa terkandung Ide-ide dari dunia Ide yang memungkinkan materi bereksistensi. Lantas, darimanakah jiwa manusia berada ? Plotinus menjawab bahwa jiwa manusia berada di antara psyche dan hyle. Jiwa dunia dalam keseluruhannya hadir pada jiwa manusia sebagai individu yang mana dari padanya perwujudan jiwa dunia terungkap.[14]  Atau dengan kata lain, jiwa manusia merupakan representasi jiwa-dunia[15] karena dalamnya terwujud nous dalam materi. Oleh karena itu, jiwa manusia berada dalam kesatuan dengan psyche, nous juga hyle yang berpangkal pada to hen. 

d.      Materi (hyle)
Plotinus memandang realitas material; tempat dimana materi berada sebagai kegelapan. Maksudnya adalah bahwa posisi materi yang terletak pada hirarki ciptaan menempatkan materi pada ujung yang berlawanan dengan “Yang Satu” dalam rentangan realitas secara keseluruhan, berkonsekuensi pada hakikat dunia materi yang hanya merupakan pantulan dari jiwa dunia sehingga materi tidak memiliki realitas sendiri dan padanya hanya ada satu potensialitas, yaitu kemungkinan yang memungkinkan segala sesuatu bereksistensi dalam ruang dan waktu. Dengan kata lain kendati tidak memiliki realitas sendiri, materi dalam persatuanya dengan nous memiliki potensialitas dalam menyebabkan adanya dunia. Dalam taraf inilah manusia berasal, sehingga dapatlah dimengerti alasan Plotinus memandang jiwa sebagai prinsip yang memungkinkan manusia menginderawi realita. Baginya mengusahakan kemajuan jiwa lebih penting dari memperhatikan tubuh, sehingga semasa hidupnya ia tidak mempedulikan keadaan tubuh meski menderita karenanya. Hal ini ditegaskan oleh Porphyrios dengan mengisahkan bahwa : “selama hidupnya Plotinos seakan-akan merasa malu bahwa ia adalah mahluk yang badani. Mandi adalah suatu perbuatan yang tak ia kenali dan meskipun senantiasa menderita dalam perut, ia tidak pernah mau diobati.”[16] Kendati demikian materi hendaknya tidak dinilai sebagai keburukan mutlak karena materi juga berasal dari “Yang Satu”. Memang tak bisa dipungkiri bahwa keterarahan materi pada kesenangan duniawi yang bersifat materi belaka merupakan penyebab manusia dijauhkan dari yang esa. Namun hal itu bukanlah alasan yang tepat untuk menilai materi sebagai sebuah keburukan karena materi berasal dari “Yang Satu”.
 
v  Datang Dari dan Kembali Pada “Yang Satu”
Di atas telah dijelaskan bahwa manusia dalam pandangan Plotinus terdiri atas jiwa dan tubuh, dimana jiwa merupakan bagian dari dunia Ide-ide sedangkan tubuh merupakan bagian dunia material. Keduanya hadir sebagai realitas lewat emanasi, serentak juga lewat emanasi keduanya bersatu sebagai manusia. Kendati demikian, Plotinus lebih cenderung memandang jiwa sebagai kodrat manusia karena jiwa manusia merupakan presentasi dari jiwa dunia. Konsekuensi dari dualisme ini lantas menempatkan manusia dalam sebuah tarik-menarik antara jiwa dan tubuh. Tarik – menarik tersebut disebabkan oleh hasrat untuk kembali kepada prinsip asali, dimana jiwa di satu sisi terarah pada “Yang Satu” sedangkan di sisi lain tertarik juga ke arah materi. Kendati demikian, Plotinus menegaskan bahwa tujuan hidup manusia adalah persatuan kembali manusia dengan “Yang Satu”.[17] Sekarang pertanyaannya adalah : Bagaimanakah caranya manusia kembali kepada persatuan dengan “Yang Satu” ? Proses kembalinya jiwa manusia kepada “Yang Satu” dibagi Plotinus dalam tiga tahap, yaitu : askese, kontemplasi dan ekstase.
a.       Askese
Askese merupakan sebuah upaya untuk melepaskan manusia dari keterikatan pada tubuh dan pengenalan inderawi yang dalamnya tak ada kepastian karena tak ada realitas dalam dunia inderawi karena materi memang bukan realitas.[18] Atau dengan kata lain, lewat askese jiwa manusia dilepaskan dari kecenderungan – kecenderungan yang menarik jiwa manusia kepada dunia material. Tujuan tersebut hanya mungkin tercapai jika manusia membiasakan diri untuk hidup dalam empat keutamaan, yaitu : kebajikan, keadilan, keugaharian dan kewiraan.[19] Misalnya : dengan memiliki pengetahuan tentang yang baik, memilki keberanian, mampu mengendalikan diri dan senantiasa memperjuangkan keadilan.[20]

b.      Kontemplasi
Kontemplasi merupakan tahap kedua dalam mengusahakan persatuan kembali dengan “Yang Satu”. Kontemplasi adalah sebuah upaya untuk mengenal hakekat dari realitas, yang adalah ide-ide. Pengenalan tersebut hanya mungkin jika manusia memiliki pengetahuan tentang filsafat, karena filsafat memampukan manusia untuk mengetahui tentang “Yang Esa”. Dengan terlepasnya jiwa manusia dari keterikatan pada benda-benda material, nous mencerahkan keberadaan ide-ide kepada manusia lewat daya rasionalitas. Namun daya rasionalitas tersebut hanya dapat ditangkap oleh manusia jika manusia mampu berpikir filsafati. Berpikir secara filsafati berarti mengarahkan daya pikir pada dimensi terdalam dari realitas yang mana dalamnya terkandung apa yang disebut sebagai kebenaran sejati. Disanalah terletak kebahagiaan sejati; kebahagiaan yang tidak tergantung pada materi.[21]

c.       Ekstase
Ekstasi merupakan kata sifat dari ekstasis yang secara etimologi berasal dari kata Yunani: ex (keluar) dan histanai (berdiri) jadinya ‘berdiri di luar diri sendiri’. Istilah ini merujuk pada suatu keadaan psikologis yang dalamnya terjadi penyerapan mental yang intens. Dalam konteks ini, rasa terpesona juga disamakan dengan pencerahan religius/kesatuan jiwa dengan realitas transendental. Pada tahap inilah seorang manusia masuk dalam kesatuan mistik[22] dengan “Yang Satu”.[23] Disini manusia mampu menyelami dirinya sendiri dan menemukan adanya “Yang Satu” dalam dirinya sendiri. Hal ini mungkin karena dalam ekstase manusia berada dalam kondisi dimana ia mampu mengatasi segala pikiran dan kesadaran, hingga sampai pada ketakjuban yang membahagiakan karena menyadari secara sungguh bahwa dalam dirinya “Yang Satu” ada, atau dengan kata lain dirinya adalah kesatuan dengan “Yang Satu”. Kebahagiaan inilah yang Plotinus sebut sebagai kebahagiaan sejati yang melampaui segala kesenangan duniawi.[24]

v  Kesimpulan
Konsep kesatuan merupakan kisaran dari seluruh sistem filsafat Plotinos. Kesatuan yang dimaksud adalah persatuan antara nous, jiwa dan materi yang bereksistensi sebagai manusia. Daya persatuan itu berasal dari “yang satu”, yang mana adalah Allah sendiri. Ia adalah sumber wujud dari segala sesuatu melalui emanasi. Perihal emanasi, Plotinus menulis : “Yang satu adalah semuanya, tetapi tidak mengandung di dalamnya satu pun dari barang yang banyak itu. Dasar daripada yang banyak tidak bisa yang banyak itu sendiri. Sebaliknya, yang satu itu adalah semuanya berarti bahwa yang banyak itu adalah padanya. Di dalam yang satu itu yang banyak itu belum ada, tetapi yang banyak itu akan ada. Sebab di dalamnya yang banyak itu tidak ada, yang banyak itu datang dari Dia. Oleh karena Yang satu itu sempurna, tidak mencari apa-apa, tidak memiliki apa-apa, dan tidak memerlukan apa-apa, maka keluarlah sesuatu dari Dia dan mengalir menjadi barang-barang yang ada.”[25] Dengan demikian, emanasi merujuk pada proses asali; dimana adanya segala sesuatu berasal dari “Yang Satu”. Dia merupakan objek yang tak terpahami dan semuanya bergerak menuju kepada-Nya. Semua makhluk yang ada, bersama-sama merupakan keseluruhan yang tersusun sebagai suatu hirarki. Pada puncak hirarki tersebut terdapatlah “yang satu” (to Hen). “Yang satu” berada pada puncak hirarki karena dari padaNya berasallah setiap tingkatan hirarki yang lain melalui jalan emanasi. Setiap taraf dalam hirarki berasal dari taraf yang lebih tinggi yang paling berdekatan dengannya. Taraf satu berasal dari taraf lain melalui jalan pengeluaran atau emanasi (emanation).
Bertolak dari pengertian di atas, dapatlah ditarik sebuah kesimpulan bahwa eksistensi manusia berasal dari “Yang Satu” karena jiwa berasal dari “Yang Satu” dan jiwa itu sendiri merupakan kodrat dari manusia. Dalam kesimpulan tersebut, tersirat hubungan antara manusia dengan “Yang Satu” lewat jiwa itu sendiri. Konsekuensi dari hubungan tersebut adalah, keterarahan jiwa untuk bersatu dengan “Yang Satu”. Jiwa berasal dari “Yang Satu”, bereksistensi dalam tubuh sebagai manusia dan setelah kematian tubuh, jiwa pun kembali pada “Yang Satu”.
Lantas, apakah yang memungkinkan jiwa bersatu kembali dengan “Yang Satu” ? Berkaitan dengan hal ini, Plotinos menjawab bahwa dalam proses persatuan kembali jiwa dengan “Yang Satu”, manusia hendaknya melalui tiga tahap penyatuan kembali yaitu askese, kontemplasi dan ekstase. Askese merupakan pembebasan jiwa dari tubuh, dimana manusia mengingkari segala keinginan tubuh demi kesetiaan pada nilai kebijakan (prudential), keadilan (iustitia), keugaharian (temperantia) dan kewiraan (fortitude). Sedangkan dalam kontemplasi, manusia mengusahakan pengetahuan tentang “Yang Satu” melalui filsafat. Pengetahuan inilah yang memungkinkan manusia untuk mengenali jiwanya yang mana pada hakikatnya berasal dari Allah dan berhasrat kembali kepada Allah. Pada tahap akhir penyatuan ini, manusia akan masuk dalam ekstase dimana dalamnya terjadi persatuan mistik langsung dengan “Yang Satu”. Itulah tujuan akhir hidup manusia, bersatu dengan “Yang Satu”.
Kendati demikian, dalam konsep Plotinus tentang manusia; khususnya perihal hakikat dari materi itu sendiri tidaklah jelas. Mengapa ? Karena pembedaan dua aspek dalam materi, yaitu materi logis dan materi inderawi lantas menimbulkan dualisme yang mengaburkan hakikat materi sebagai sesuatu yang berasal dari “Yang Satu”. Tak ada kejelasan perihal materi logis atau pun materi inderawikah yang berasal dari “Yang Satu”. Akibatnya dalam manusia sukar menampakkan manusia sebagai persatuan antara jiwa dan tubuh, karena ketidak jelasan hakikat materi menempatkan manusia sebagai jiwa yang berada dalam tubuh dan bukan jiwa yang bersatu dengan tubuh.
v  Daftar Pustaka :
1.      Nicolaus Driyarkara, A. Sudiarja 2006. Karya lengkap Driyarkara: esai-esai filsafat pemikir yang terlibat penuh . Jakarta : Penerbit Gramedia 
2.      Nujartanto, Bayu. 2014. Traktat Alam Pemikiran Yunani Kuno.
3.      Kumara Ari Yuana. 2010. The Greatest Philosophers - 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM - Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis. Jakarta : Penerbit Andi.
4.      Gaarder, Joestein. 2010. Dunia Sophie : Sebuah Novel Filsafat. Penerbit Mizan
5.      Hadiwijono, Harun. 1980. sari sejarah filsafat barat 1. yogyakarta: Kanisisus.
Bertens, K.1999. Sejarah Filsafat Yunani (edisi revisi).Yogyakarta: Kanisius.


[1] Bertens, Kees. 1999. Ringkasan Sejarah FIlsafat. Yogyakarta : Kanisius. Hlm. 18
[2] Secara etimologi, berasal dari kata Yunani : ἐννεάς. Kata tersebut merujuk pada isi dari Enneads sendiri yang mana merupakan kumpulan dari Sembilan hal.  
[3] Perihal detail pembagian tersebut, kelompok lampirkan dalam bagian akhir paper daftar isi dari “Enneads”.
[4] Drajat, Dr. M.A, Amroeni. 2005. Suhrawadi : Kritik Falsafah Peripetik. Yogyakarta : LKIS. Hlm. 104
[5] Bdk. Nujartanto, Bayu. 2014. Traktat Alam Pemikiran Yunani Kuno. Hlm. 135
[6] Hadiwijono, Harun. 1980. sari sejarah filsafat barat 1. yogyakarta: Kanisisus. Hlm. 66
[7] Bertens, Kees. 1999. Ringkasan Sejarah FIlsafat. Yogyakarta : Kanisius. Hlm. 18-19
[8] Ibid, Hlm. 19
[9] Bdk. Nujartanto, Bayu. 2014. Traktat Alam Pemikiran Yunani Kuno. Hlm. 134
[10] Kumara Ari Yuana. 2010. The Greatest Philosophers - 100 Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM - Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis. Jakarta : Penerbit Andi. Hlm. 84
[11] Lih. Copleston, Frederick. 1962. A History of Philosophy: Volume I. Greece & Rome part II. Maryland: The Newman Press. Hlm. 208.
[12] Gaarder, Joestein. 2010. Dunia Sophie : Sebuah Novel Filsafat. Penerbit Mizan. Hlm. ….
[13] Hadiwijono, Harun. 1980. sari sejarah filsafat barat 1. yogyakarta: Kanisisus. Hlm. 68
[14] Ibid.,
[15]          Ibid.,
[16] Nicolaus Driyarkara, A. Sudiarja 2006. Karya lengkap Driyarkara: esai-esai filsafat pemikir yang terlibat penuh . Jakarta : Penerbit Gramedia. Hlm. 1226
[17] Hadiwijono, Harun. 1980. sari sejarah filsafat barat 1. yogyakarta: Kanisisus. Hlm. 69
[18] Ibid,.
[19] Nujartanto, Bayu. 2014. Traktat Alam Pemikiran Yunani Kuno. Hlm. 135
[20] Hadiwijono, Harun. 1980. sari sejarah filsafat barat 1. yogyakarta: Kanisisus. Hlm. 69
[21] Ibid,.
[22] Kesatuan mistik adalah suatu kondisi dimana manusia bersatu dengan suatu realitas transenden di luar dirinya sendiri, dimana realitas transeden itu melampaui daya rasional manusia.
[23] Nujartanto, Bayu. 2014. Traktat Alam Pemikiran Yunani Kuno. Hlm. 135
[24] Lih. Frederick Copleston, A History of Philosophy: Volume I. Greece & Rome part II. Maryland: The Newman Press, 1962, hlm. 214-216.
[25] Kutipan tulisan ini diambil dari : http://www.referensimakalah.com/2012/07/pengertian-emanasi-pengantar.html. Artikel ini diunduh pada tanggal 21 November 2014, Pkl. 13.37 WITA.

No comments:

Post a Comment