I.
Tesis
:
Kodrat
manusia adalah persatuan antara jiwa dan materi. Adanya jiwa dan tubuh berasal
dari “Yang Satu”. Kendati demikian, pada manusia jiwa dan tubuh memiliki
kecenderungan yang berbeda satu sama lain. Jiwa terarah pada “Yang Satu”,
sedangkan materi lebih terarah pada kebutuhan material dimana kebahagiaan
duniawi menjadi tujuan. Untuk itu, manusia hendaknya mengusahakan askese,
kontemplasi dan ekstase sehingga manusia bisa kembali bersatu dengan “Yang
Satu”.
II.
Pembahasan
v Siapakah
Plotinus ?
Plotinus adalah seorang
filsuf Yunani yang lahir di Lycopolis, Mesir pada tahun 205 M dan meninggal
pada tahun 270 M. Tak banyak keterangan yang bisa diperoleh dalam menjelaskan
latar belakang keluarganya dan masa kecilnya, selain keterangan bahwa ia pernah
belajar pada seorang guru bernama Saccas selama 11 tahun dan mempelajari
filsafat Yunani pada umur 27 tahun. Selama mempelaari filsafat Yunani, ia lebih
memfokuskan diri untuk mendalami karya – karya Plato. Pada umurnya yang ke-40;
tepatnya pada tahun 244 M, ia tiba di Roma untuk mendirikan sekolah disana dan
mengajar filsafat selama 25 tahun. Selama hidupnya, Plotinus tidak pernah
menuliskan ajarannya sendiri.[1]
Pengenalan atas karya-karyanya secara luas tak lepas dari kerja keras Porphyrios;
salah seorang muridnya dengan diterbitkannya kumpulan tulisan dari Plotinus
dengan judul “Enneads”[2]. Enneads
sendiri berisikan 54 karangan yang berisikan ajaran Plotinus, yang dalam
penerbitannya dikelompokkan oleh Porphyrios dalam 9 bagian.[3]
v “Yang
Satu” Sebagai Asal Dari Segala Realitas
Titik tolak ajaran
Plotinos adalah “Yang Satu” sebagai pangkal dari segala sesuatu.[4]
EssensiNya sebagai “Yang Satu” bukan dalam pengertian waktu dimana Ia adalah
yang pertama ada dalam realitas, melainkan karena simplisitasnya. Simplisitas
merujuk pada aktualitas murni dari “Yang Satu”; bahwa Ia ada karena Ia adalah prinsip
sekaligus tindakan mengada itu sendiri. Atau dengan kata lain, dalam “Yang
Satu” essensi sama dengan eksistensi. Konsekuensinya adalah bahwa “Yang Satu”
bukanlah substansi dari realitas melainkan asal dari segala hal, karena Ia
tidak mengarah pada atribut-atribut dari segala yang ada karena “Yang Satu”
bukanlah sebuah komposisi yang dapat disamakan dengan segala yang ada. Ia
adalah sesuatu yang adanya mengatasi segala-galanya. Itulah mengapa “Yang Satu”
tak dapat disebut dengan merujuk pada suatu atribut tertentu; misalnya
kebenaran, karena dari padaNyalah kebenaran berasal serentak pula ia adalah
kebenaran itu sendiri karena Ia mengatasi segala kebenaran.
Pemahaman di atas
secara langsung menunjukkan bahwa adalah sebuah kesalahan jika “Yang Satu” sebagai
asal dari realitas dipahami dalam artian perannya sebagai pencipta. Karena jika
demikian, Ia mengidentikkan dirinya dengan ciptaan sekaligus memisahkan dirinya
dari ciptaan karena relasi sebab-akibat dalam penciptaan yang mengandaikan
adanya pencipta dan obyek yang disatukan, sehingga tak ada kesatuan dalamnya. Konsekuensinya
adalah bahwa Ia bukanlah aktualitas murni yang memiliki essensi sama dengan
eksistensi. Lantas, bagaimana membuktikan “Yang Satu” sebagai asal dari
realitas ? Plotinus menjawab hal ini dengan menggunakan proses emanasi yang
adalah usaha menjelaskan adanya realitas dengan bersumber dari “Yang Satu”
(proses ontologis).[5]
Menurutnya realitas itu ada bukan karena dirinya sendiri tapi karena suatu
prinsip asali sebagai sumber daya mengada dari realitas. Prinsip asali yang
dimaksud, adalah “Yang Satu”. Oleh karena itu, adanya realitas tak dapat
dipisahkan dari adanya “Yang Satu” dan dalam realitas “Yang Satu” hadir, namun
bukan sebagai atribut realitas melainkan sebagai prinsip mengada dari realitas.
Dengan demikian dapatlah dipahami apa yang Plotinus maksudkan lewat emanasi,
yaitu bahwa segala sesuatu mengalir keluar dari padaNya bukan sebagai wujud potensialitas
atas aktualitas dari “Yang Satu” melainkan sebagai wujud partisipasional dalam
adanya “Yang Satu”, dimana segala sesuatu mengalir keluar begitu saja dari
“Yang Satu” bagai air sungai yang mengalir begitu saja.
v Dua
Gerakan Dalam Realitas
Inti dari ajaran
Plotinos adalah konsep tentang kesatuan, dimana “Yang Satu” adalah prinsip
mengada dari segala yang ada dan oleh karena itu pulalah serentak segala
sesuatu berhasrat untuk kembali pada “Yang Satu”. Ini adalah pengembangan dari
dualisme Plato yang mengajarkan bahwa selain dunia material, masih ada dunia
“Ide-ide” sebagai realitas yang sejati. Oleh Plotinus ajaran Plato lantas
dikembangkan dengan mendasari ajarannya ada “Yang Satu” sebagai dasar dari
dunia Ide sekaligus dunia material. Semua itu menjadi satu dalam “Yang Satu”
karena “Yang Satu” adalahh arus hidup bagi segala sesuatu. Dengan kata lain,
oleh Plotinus ajaran Plato dihidupkan kembali dengan cara menjadikan “Yang
Satu” sebagai daya mengada dari segala yang ada dan menjadi tujuan akhir dari
segala sesuatu yang ada.[6] Konsekuensi
dari “Yang Satu” sebagai asal dan tujuan dari segala sesuatu, adalah
terciptanya dua arah gerak dari realitas, yaitu gerak dari atas ke bawah (asal)
dan gerak dari bawah ke atas (tujuan).[7]
a. Dari
atas ke bawah.
Gerak
realitas dari atas ke bawah dapat dipahami lewat pemahaman yang didasarkan pada
susunan dari segala yang ada sebagai suatu hirarki. Dalam hirarki setiap taraf
dari yang ada berasal dari taraf yang lebih tinggi. Proses tersebut disebut
emanasi, yang adalah proses keluarnya suatu realitas dari realitas yang sejati
dimana oleh Plotinus realitas sejati itulah “Yang Satu” (to Hen). Kendati
demikian hal ini tidak berarti bahwa karena “Yang Satu” adalah sumber utama
realitas yang menduduki puncak hirarki sehingga bebas mengeluarkan taraf
berikutnya secara bebas. Mengapa ? Karena “Yang Satu” sebagai prinsip asali
dengan segala yang ada adalah satu kesatuan, sehingga jika Ia mengeluarkan
taraf berikutnya secara bebas, berarti tak ada lagi kesatuan dalamnya.[8]
Untuk itu, Plotinus menekankan bahwa asal dari segala sesuatu bukanlah
penciptaan karena penciptaan mengandaikan adanya aktivitas penciptaan yang
membedakan “Yang Satu” sebagai pelaku penciptaan dengan segala yang ada sebagai
objek ciptaan, sehingga tak ada lagi kesatuan antara “Yang Satu” dengan semua
ciptaan.[9]
Oleh karena itu, emanasi bukan merujuk pada sebuah aktus mengada tapi pada prinsip asali yang dari padanya segala
sesuatu beroleh dan memiliki daya mengada. Dengan kata lain, adanya realitas
bersumber dari “Yang Satu” bukan karena Ia mengadakan/menciptakan realitas tapi
karena dalam realitas terkandung keesaan dan kesempurnaan dari “Yang Satu”.
b. Dari
bawah ke atas
Di
atas telah dijelaskan bahwa adanya segala sesuatu berasal dari “Yang Satu”
melalui emanasi sesuai dengan hirarki ciptaan. Dalam proses asali tersebut juga
termuat tujuan dari setiap taraf hirarki, yaitu kembali kepada taraf yang lebih
tinggi yang adalah dasar dari setiap hirarki dan seterusnya hingga menuju ke
“Yang Satu”. Dengan kata lain, karena segala sesuatu berasal dari daya mengada
“Yang Satu”, maka dalam segala sesuatu terkandung pula hasrat untuk kembali
pada “Yang Satu”.
v Darimanakah
Jiwa Manusia Berasal ?
Jawaban atas pertanyaan
mengenai asal dari manusia dijawab oleh Plotinus lewat Proses emanasi dengan
melandaskan pikirannya pada “Yang Satu” sebagai wujud tertinggi (realitas
sejati) dan dunia material sebagai wujud terendah. Di antara kedua wujud
tersebut, terdapat wujud-wujud lain yang tersusun seturut hirarki ciptaan.
Singkatnya Plotinus membagi realitas secara keseluruhan dalam 4 wujud, yaitu :
a. Yang
Satu (to hen)
Plotinus
tidak memberikan sebuah definisi mengenai “Yang Satu”, karena definisi
mengandaikan adanya atribut-atribut yang merujuk pada yang didefinisikan
sebagai dasar dari sebuah pemahaman atas apa yang didefinisikan. Hal itu
disebabkan oleh pandangannya bahwa sifat-sifat “Yang Satu” berada di luar
jangkauan pemahaman manusia, sehingga Ia tidak dapat dipahami apalagi disamakan
dengan segala yang ada; baik dalam hal sifat maupun bentuk. Kendati demikian,
Plotinus menempatkan “Yang Satu” sebagai sumber realitas, yang mana dari
padanya segala realitas lain berasal.[10] Ia adalah entitas yang mutlak, melampaui segala
sesuatu yang ada, baik semua pemikiran dan keberadaan, tidak terbagi-bagi,
tanpa pengubahan, kekal sifatnya, tanpa substansi sebagai masa lampau dan
sekarang, ia kebenaran pada dirinya. Dapat disebut pula “Yang Ilahi”.[11]
Emanasi
dari “Yang Satu” diibaratkan Plotinus dengan api yang memancarkan cahaya.
Semakin dekat sesuatu dengan api, semakin terang cahaya api itu menyinari,
begitu pun sebaliknya. Pengibaratan ini lantas menempatkan realitas sebagai
sebuah rentangan dimana “Yang Satu” dan materi berada pada dua sisi yang
berlawanan dan akal dan jiwa terletak di tengahnya[12]
sehingga dapatlah dimengerti bahwa materi oleh Plotinus dipandang sebagai wujud
terendah dalam realitas karena adanya materi adalah bias akhir dari “Yang
Satu”.
b. Akal
(nous)
Akal
disini merujuk pada roh dari “Yang Satu”, yaitu dunia ide. Nous berasal dari “Yang Satu”, namun bukanlah “Yang Satu”. Oleh
Plotius, nous dipandang tidak
sempurna karena dalamnya “Yang Satu” telah membedakan dirinya dalam
kedwitunggalan lewat karya akal dan isi akal.[13]
Karya akal yang dimaksudkan disini bukanlah sebuah tindakan menguraikan, namun
merujuk pada pandangan bahwa karya akal adalah akal itu sendiri yang dengannya
dan dalamnya eksistensi nous disadari.
Atau dengan kata lain, karya akal adalah daya kesadaran akan eksistensi akal.
Sedangkan isi akal adalah Ide-ide yang hidup di dunia Ide.
c. Jiwa
(psyche)
Jikalau
nous adalah gambar dari “Yang Satu”,
maka jiwa adalah gambar dari nous, atau
dengan kata lain jiwa dalam taraf ini merujuk pada jiwa dunia yang mana
dalamnya dunia Ide-ide terungkap. Jiwa dunia merupakan daya penginderaan
manusia. Selain itu dalam struktur hirarki ciptaan, jiwa terletak antara nous dan materi. Konsekuensi dari letak
itu adalah peran jiwa sebagai penghubung antara nous dan materi. Konsekuensi dari kedua hal tersebut adalah
bahwa dalam jiwa terkandung Ide-ide dari dunia Ide yang memungkinkan materi
bereksistensi. Lantas, darimanakah jiwa manusia berada ? Plotinus menjawab
bahwa jiwa manusia berada di antara psyche
dan hyle. Jiwa dunia dalam
keseluruhannya hadir pada jiwa manusia sebagai individu yang mana dari padanya
perwujudan jiwa dunia terungkap.[14] Atau dengan kata lain, jiwa manusia merupakan representasi jiwa-dunia[15]
karena dalamnya terwujud nous dalam
materi. Oleh karena itu, jiwa manusia berada dalam kesatuan dengan psyche, nous juga hyle yang berpangkal pada to
hen.
d. Materi
(hyle)
Plotinus
memandang realitas material; tempat dimana materi berada sebagai kegelapan.
Maksudnya adalah bahwa posisi materi yang terletak pada hirarki ciptaan
menempatkan materi pada ujung yang berlawanan dengan “Yang Satu” dalam
rentangan realitas secara keseluruhan, berkonsekuensi pada hakikat dunia materi
yang hanya merupakan pantulan dari jiwa dunia sehingga materi tidak memiliki
realitas sendiri dan padanya hanya ada satu potensialitas, yaitu kemungkinan
yang memungkinkan segala sesuatu bereksistensi dalam ruang dan waktu. Dengan
kata lain kendati tidak memiliki realitas sendiri, materi dalam persatuanya
dengan nous memiliki potensialitas
dalam menyebabkan adanya dunia. Dalam taraf inilah manusia berasal, sehingga
dapatlah dimengerti alasan Plotinus memandang jiwa sebagai prinsip yang
memungkinkan manusia menginderawi realita. Baginya mengusahakan kemajuan jiwa
lebih penting dari memperhatikan tubuh, sehingga semasa hidupnya ia tidak
mempedulikan keadaan tubuh meski menderita karenanya. Hal ini ditegaskan oleh
Porphyrios dengan mengisahkan bahwa : “selama
hidupnya Plotinos seakan-akan merasa malu bahwa ia adalah mahluk yang badani.
Mandi adalah suatu perbuatan yang tak ia kenali dan meskipun senantiasa
menderita dalam perut, ia tidak pernah mau diobati.”[16]
Kendati demikian materi hendaknya tidak dinilai sebagai keburukan mutlak
karena materi juga berasal dari “Yang Satu”. Memang tak bisa dipungkiri bahwa
keterarahan materi pada kesenangan duniawi yang bersifat materi belaka
merupakan penyebab manusia dijauhkan dari yang esa. Namun hal itu bukanlah
alasan yang tepat untuk menilai materi sebagai sebuah keburukan karena materi
berasal dari “Yang Satu”.
v Datang
Dari dan Kembali Pada “Yang Satu”
Di atas telah
dijelaskan bahwa manusia dalam pandangan Plotinus terdiri atas jiwa dan tubuh,
dimana jiwa merupakan bagian dari dunia Ide-ide sedangkan tubuh merupakan
bagian dunia material. Keduanya hadir sebagai realitas lewat emanasi, serentak
juga lewat emanasi keduanya bersatu sebagai manusia. Kendati demikian, Plotinus
lebih cenderung memandang jiwa sebagai kodrat manusia karena jiwa manusia
merupakan presentasi dari jiwa dunia. Konsekuensi dari dualisme ini lantas
menempatkan manusia dalam sebuah tarik-menarik antara jiwa dan tubuh. Tarik –
menarik tersebut disebabkan oleh hasrat untuk kembali kepada prinsip asali,
dimana jiwa di satu sisi terarah pada “Yang Satu” sedangkan di sisi lain
tertarik juga ke arah materi. Kendati demikian, Plotinus menegaskan bahwa
tujuan hidup manusia adalah persatuan kembali manusia dengan “Yang Satu”.[17]
Sekarang pertanyaannya adalah : Bagaimanakah caranya manusia kembali kepada
persatuan dengan “Yang Satu” ? Proses kembalinya jiwa manusia kepada “Yang
Satu” dibagi Plotinus dalam tiga tahap, yaitu : askese, kontemplasi dan
ekstase.
a. Askese
Askese
merupakan sebuah upaya untuk melepaskan manusia dari keterikatan pada tubuh dan
pengenalan inderawi yang dalamnya tak ada kepastian karena tak ada realitas
dalam dunia inderawi karena materi memang bukan realitas.[18]
Atau dengan kata lain, lewat askese jiwa manusia dilepaskan dari kecenderungan
– kecenderungan yang menarik jiwa manusia kepada dunia material. Tujuan tersebut
hanya mungkin tercapai jika manusia membiasakan diri untuk hidup dalam empat
keutamaan, yaitu : kebajikan, keadilan, keugaharian dan kewiraan.[19]
Misalnya : dengan memiliki pengetahuan tentang yang baik, memilki keberanian,
mampu mengendalikan diri dan senantiasa memperjuangkan keadilan.[20]
b. Kontemplasi
Kontemplasi
merupakan tahap kedua dalam mengusahakan persatuan kembali dengan “Yang Satu”.
Kontemplasi adalah sebuah upaya untuk mengenal hakekat dari realitas, yang
adalah ide-ide. Pengenalan tersebut hanya mungkin jika manusia memiliki
pengetahuan tentang filsafat, karena filsafat memampukan manusia untuk mengetahui
tentang “Yang Esa”. Dengan terlepasnya jiwa manusia dari keterikatan pada
benda-benda material, nous mencerahkan
keberadaan ide-ide kepada manusia lewat daya rasionalitas. Namun daya rasionalitas
tersebut hanya dapat ditangkap oleh manusia jika manusia mampu berpikir
filsafati. Berpikir secara filsafati berarti mengarahkan daya pikir pada
dimensi terdalam dari realitas yang mana dalamnya terkandung apa yang disebut
sebagai kebenaran sejati. Disanalah terletak kebahagiaan sejati; kebahagiaan
yang tidak tergantung pada materi.[21]
c. Ekstase
Ekstasi
merupakan kata sifat dari ekstasis yang secara etimologi berasal dari kata
Yunani: ex (keluar) dan histanai (berdiri) jadinya ‘berdiri di
luar diri sendiri’. Istilah ini merujuk pada suatu keadaan psikologis yang
dalamnya terjadi penyerapan mental yang intens. Dalam konteks ini, rasa
terpesona juga disamakan dengan pencerahan religius/kesatuan jiwa dengan
realitas transendental. Pada tahap inilah seorang manusia masuk dalam kesatuan
mistik[22]
dengan “Yang Satu”.[23]
Disini manusia mampu menyelami dirinya sendiri dan menemukan adanya “Yang Satu”
dalam dirinya sendiri. Hal ini mungkin karena dalam ekstase manusia berada
dalam kondisi dimana ia mampu mengatasi segala pikiran dan kesadaran, hingga
sampai pada ketakjuban yang membahagiakan karena menyadari secara sungguh bahwa
dalam dirinya “Yang Satu” ada, atau dengan kata lain dirinya adalah kesatuan
dengan “Yang Satu”. Kebahagiaan inilah yang Plotinus sebut sebagai kebahagiaan
sejati yang melampaui segala kesenangan duniawi.[24]
v Kesimpulan
Konsep
kesatuan merupakan kisaran dari seluruh sistem filsafat Plotinos. Kesatuan yang
dimaksud adalah persatuan antara nous, jiwa dan materi yang bereksistensi
sebagai manusia. Daya persatuan itu berasal dari “yang satu”, yang mana adalah
Allah sendiri. Ia adalah sumber wujud dari segala sesuatu melalui emanasi.
Perihal emanasi, Plotinus menulis : “Yang
satu adalah semuanya, tetapi tidak mengandung di dalamnya satu pun dari barang
yang banyak itu. Dasar daripada yang banyak tidak bisa yang banyak itu sendiri.
Sebaliknya, yang satu itu adalah semuanya berarti bahwa yang banyak itu adalah
padanya. Di dalam yang satu itu yang banyak itu belum ada, tetapi yang banyak
itu akan ada. Sebab di dalamnya yang banyak itu tidak ada, yang banyak itu
datang dari Dia. Oleh karena Yang satu itu sempurna, tidak mencari apa-apa,
tidak memiliki apa-apa, dan tidak memerlukan apa-apa, maka keluarlah sesuatu
dari Dia dan mengalir menjadi barang-barang yang ada.”[25] Dengan
demikian, emanasi merujuk pada proses asali; dimana adanya segala sesuatu
berasal dari “Yang Satu”. Dia merupakan objek yang tak terpahami dan semuanya
bergerak menuju kepada-Nya. Semua makhluk yang ada, bersama-sama merupakan
keseluruhan yang tersusun sebagai suatu hirarki. Pada puncak hirarki tersebut
terdapatlah “yang satu” (to Hen). “Yang satu” berada pada puncak hirarki karena
dari padaNya berasallah setiap tingkatan hirarki yang lain melalui jalan
emanasi. Setiap taraf dalam hirarki berasal dari taraf yang lebih tinggi yang
paling berdekatan dengannya. Taraf satu berasal dari taraf lain melalui jalan
pengeluaran atau emanasi (emanation).
Bertolak
dari pengertian di atas, dapatlah ditarik sebuah kesimpulan bahwa eksistensi
manusia berasal dari “Yang Satu” karena jiwa berasal dari “Yang Satu” dan jiwa
itu sendiri merupakan kodrat dari manusia. Dalam kesimpulan tersebut, tersirat hubungan
antara manusia dengan “Yang Satu” lewat jiwa itu sendiri. Konsekuensi dari
hubungan tersebut adalah, keterarahan jiwa untuk bersatu dengan “Yang Satu”.
Jiwa berasal dari “Yang Satu”, bereksistensi dalam tubuh sebagai manusia dan
setelah kematian tubuh, jiwa pun kembali pada “Yang Satu”.
Lantas,
apakah yang memungkinkan jiwa bersatu kembali dengan “Yang Satu” ? Berkaitan
dengan hal ini, Plotinos menjawab bahwa dalam proses persatuan kembali jiwa
dengan “Yang Satu”, manusia hendaknya melalui tiga tahap penyatuan kembali
yaitu askese, kontemplasi dan ekstase. Askese merupakan pembebasan jiwa dari
tubuh, dimana manusia mengingkari segala keinginan tubuh demi kesetiaan pada
nilai kebijakan (prudential), keadilan (iustitia), keugaharian (temperantia)
dan kewiraan (fortitude). Sedangkan dalam kontemplasi, manusia mengusahakan
pengetahuan tentang “Yang Satu” melalui filsafat. Pengetahuan inilah yang
memungkinkan manusia untuk mengenali jiwanya yang mana pada hakikatnya berasal
dari Allah dan berhasrat kembali kepada Allah. Pada tahap akhir penyatuan ini,
manusia akan masuk dalam ekstase dimana dalamnya terjadi persatuan mistik
langsung dengan “Yang Satu”. Itulah tujuan akhir hidup manusia, bersatu dengan
“Yang Satu”.
Kendati
demikian, dalam konsep Plotinus tentang manusia; khususnya perihal hakikat dari
materi itu sendiri tidaklah jelas. Mengapa ? Karena pembedaan dua aspek dalam
materi, yaitu materi logis dan materi inderawi lantas menimbulkan dualisme yang
mengaburkan hakikat materi sebagai sesuatu yang berasal dari “Yang Satu”. Tak
ada kejelasan perihal materi logis atau pun materi inderawikah yang berasal
dari “Yang Satu”. Akibatnya dalam manusia sukar menampakkan manusia sebagai
persatuan antara jiwa dan tubuh, karena ketidak jelasan hakikat materi
menempatkan manusia sebagai jiwa yang berada dalam tubuh dan bukan jiwa yang
bersatu dengan tubuh.
v Daftar Pustaka :
1. Nicolaus
Driyarkara, A. Sudiarja 2006. Karya
lengkap Driyarkara: esai-esai filsafat pemikir yang terlibat penuh . Jakarta
: Penerbit Gramedia
2. Nujartanto,
Bayu. 2014. Traktat Alam Pemikiran Yunani
Kuno.
3. Kumara Ari Yuana.
2010. The Greatest Philosophers - 100
Tokoh Filsuf Barat dari Abad 6 SM - Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis.
Jakarta : Penerbit Andi.
4. Gaarder,
Joestein. 2010. Dunia Sophie : Sebuah
Novel Filsafat. Penerbit Mizan
5. Hadiwijono, Harun.
1980. sari sejarah filsafat barat
1. yogyakarta: Kanisisus.
Bertens, K.1999. Sejarah Filsafat Yunani
(edisi revisi).Yogyakarta: Kanisius.
[2] Secara
etimologi, berasal dari kata Yunani : ἐννεάς. Kata tersebut
merujuk pada isi dari Enneads sendiri yang mana merupakan kumpulan dari
Sembilan hal.
[3] Perihal detail
pembagian tersebut, kelompok lampirkan dalam bagian akhir paper daftar isi dari
“Enneads”.
[4] Drajat, Dr.
M.A, Amroeni. 2005. Suhrawadi : Kritik
Falsafah Peripetik. Yogyakarta : LKIS. Hlm. 104
[5] Bdk. Nujartanto,
Bayu. 2014. Traktat Alam Pemikiran Yunani
Kuno. Hlm. 135
[7] Bertens, Kees. 1999. Ringkasan Sejarah FIlsafat. Yogyakarta :
Kanisius. Hlm. 18-19
[8] Ibid, Hlm. 19
[9] Bdk.
Nujartanto, Bayu. 2014. Traktat Alam
Pemikiran Yunani Kuno. Hlm. 134
[10] Kumara Ari Yuana. 2010. The Greatest Philosophers - 100 Tokoh Filsuf
Barat dari Abad 6 SM - Abad 21 yang Menginspirasi Dunia Bisnis. Jakarta :
Penerbit Andi. Hlm. 84
[11] Lih. Copleston, Frederick. 1962. A History of Philosophy: Volume I. Greece & Rome part
II. Maryland: The Newman Press. Hlm. 208.
[14] Ibid.,
[16]
Nicolaus
Driyarkara, A. Sudiarja 2006. Karya
lengkap Driyarkara: esai-esai filsafat pemikir yang terlibat penuh . Jakarta
: Penerbit Gramedia. Hlm. 1226
[18] Ibid,.
[19] Nujartanto,
Bayu. 2014. Traktat Alam Pemikiran Yunani
Kuno. Hlm. 135
[21] Ibid,.
[22] Kesatuan mistik
adalah suatu kondisi dimana manusia bersatu dengan suatu realitas transenden di
luar dirinya sendiri, dimana realitas transeden itu melampaui daya rasional
manusia.
[23] Nujartanto,
Bayu. 2014. Traktat Alam Pemikiran Yunani
Kuno. Hlm. 135
[24] Lih. Frederick Copleston, A History of
Philosophy: Volume I. Greece & Rome part II. Maryland: The Newman Press, 1962, hlm. 214-216.
[25]
Kutipan
tulisan ini diambil dari : http://www.referensimakalah.com/2012/07/pengertian-emanasi-pengantar.html. Artikel ini
diunduh pada tanggal 21 November 2014, Pkl. 13.37 WITA.
No comments:
Post a Comment