Personally adalah hal yang mengharukan manakala
berkesempatan melihat ataupun bertemu langsung dengan mereka yang punya passion dalam bekerja: orang-orang yang
kendati menganggap salary adalah
penting karena ia pantas dihormati sesuai dengan tingkat keahlian di bidangnya
dalam bekerja, namun tak menjadikannya tujuan utama dalam bekerja. Orang-orang
yang sungguh memaknai kerja sebagai caranya untuk mengungkapkan kebermaknaan
dirinya lewat mengusahakan sesuatu yang berguna dari dirinya bagi orang lain.
Ciri khas utama mereka yang dimaksud, adalah kemampuan untuk menentukan
sekaligus membedakan waktu untuk bekerja dan waktu untuk beristirahat. Wajah
mereka menampakkan ekspresi yang kontras antara saat bekerja dimana keseriusan
dan kerutan dahi nampak dan santai, tersenyum lepas manakala waktu istirahat
tiba. Orang-orang yang tidak membawa pekerjaan ke rumah ataupun sampai
membebani pikiran di tempat tidur.
Kenyataan ini terlintas manakala pernah
beberapa pekan lalu ditanyai: Enakkah hidup tanpa gaji selayaknya? Pertanyaan
ini membayangi pikiran selama beberapa hari. Bukan karena tidak siap untuk
ditanyai pertanyaan seperti itu, melainkan lebih pada kesadaran bahwa hal ini
tidak pernah direnungkan secara serius selama ini!
Well, ketika pertanyaan itu diajukan,
reaksi pertama yang muncul dalam kesadaran, adalah rasa penasaran tentang apa
sebenarnya bahagiamu? Tentu sebagai seorang beriman, Allah saja cukuplah karena
Ia-lah rahmat terbesar dari segalanya. Namun untuk sampai pada pengakuan yang
dapat dipertanggungjawabkan dalam hati dan pikiran, kiranya masih jauhlah dari
kesadaran seluhur ini.
Pertanyaan tersebut lantas menghantar
saya memikirkan hal kedua sebagai konsekuensi dari pertanyaan pertama tersebut:
Apa yang kamu cari dalam hidup? Materi kah? Sesuatu yang lain kah? Atas dua
kemungkinan jawaban ini, tentunya materi kendati penting bagi hidup (Misalnya:
Biston Wealth pernah mempublikasikan hasil penelitiannya bahwa uang dapat
memfasilitasi manusia dalam mengusahakan dan memeroleh kebahagiaan dalam hidup
sebagaimana termuat dalam: https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20180619133609-33-19583/hasil-penelitian-uang-memang-bisa-beli-kebahagiaan),
materi tak dapat mutlak menjadi hal utama yang manusia cari dalam hidup.
Kefanaan materi menjadikan kepemilikan atasnya senantiasa menimbulkan rasa tak
puas dalam diri manusia. Manusia senantiasa menginginkan materi secara
berlebihan. Karenanya jam tangan, handphone terbaru, laptop spesifikasi gahar,
pakaian mode terbaru bukanlah hal utama yang manusia cari dalam hidup. Materi
tak berdaya dalam menjadikan manusia merasa puas dengan diri bahkan hidupnya.
Lantas apa? Jika materi tak dapat diandalkan, maka pilihan terakhir yang
tersisa adalah sesuatu yang non material, itulah: kebahagiaan batiniah.
Tak dapat dipungkiri bahwa kebahagiaan
batiniah adalah sesuatu yang bersifat realitif cara pengusahaannya. Namun essensinya
(dalam artian adanya) senantiasa merujuk pada satu kondisi yang sama, yaitu
keberartian diri. Mengapa demikian? Alasannya adalah seluruh realitas manusiawi
senantiasa dimaksudkan sebagai usaha manusia untuk mencari tahu kebermaknaan
dirinya. Pertanyaan: Siapakah aku? Adalah hal yang akan terus manusia tanyakan
sepanjang dirinya. Pertanyaan ini hanya dapat terjawab secara memuaskan
manakala manusia sungguh menyadari bahwa bahagia saya tergantung pada atas cara
apa saya mengusahakan kebahagiaan orang lain. Bahasa rohaninya: Menemukan diri
sendiri dalam diri orang lain. Ini sekaligus memberi kepada kita jawaban
mengapa kunci kedekatan dan kerekatan emosi dalam sebuah relasi terletak pada
rasa nyaman, yaitu karena rasa nyaman adalah reaksi yang timbul manakala
seseorang diterima sebagaimana dirinya sekaligus “diizinkan” untuk
mengekspresikan dirinya sebagaimana adanya. Inilah yang sering disebut sebagai
“inti terdalam hati manusia”.
Seluruh kenyataan di atas lantas
menghantar saya pada satu kesimpulan ini: “Kunci utama kebahagiaan sejati
manusia terletak pada hati sesama manusia”. Dorongan untuk memahami siapa kita,
senantiasa mengharuskan kita tuk menjadi berarti bagi orang lain atas cara
menjadi sebagaimananya kita. Ini mengandaikan kemauan saya untuk melakukan
sesuatu yang berarti bagi orang lain juga penerimaan orang lain yang dari
padanya memberikan “jaminan” bahwa saya diizinkan untuk menjadi berarti bagi
orang lain. Adanya orang lain adalah syarat mutlak yang tak terhindarkan dalam
usaha untuk beroleh bahagia sejati dalam hidup.
So,
enakkah hidup tanpa gaji selayaknya? Dengan pasti dan
dapat dipertanggungjawabkan, jawabannya adalah “Ya”. Ini pertama-tama bukan
soal saya menolak untuk dihargai sesuai dengan kapasitas kemampuan pribadi,
melainkan karena prioritas orientasi terhadap usaha untuk menjadi bahagia dalam
hidup. Cukuplah jika punya materi yang lewatnya hidup dapat difasilitasi atas
cara yang cukup. Selebihnya, kebahagiaan batin tetaplah menjadi tujuan utama
karena tanpanya segala materi yang ada tidaklah berfaedah sama sekali, bahkan
hidup pun seakan tak bermakna. Atas cara ini, penghargaan atas diri sendiri tak
terabaikan, bahkan dapat diusahakan dengan lebih baik lagi.
No comments:
Post a Comment