Tuesday, June 18, 2019

UPAHAN TAPI BUKAN TENTANG UPAH


Personally adalah hal yang mengharukan manakala berkesempatan melihat ataupun bertemu langsung dengan mereka yang punya passion dalam bekerja: orang-orang yang kendati menganggap salary adalah penting karena ia pantas dihormati sesuai dengan tingkat keahlian di bidangnya dalam bekerja, namun tak menjadikannya tujuan utama dalam bekerja. Orang-orang yang sungguh memaknai kerja sebagai caranya untuk mengungkapkan kebermaknaan dirinya lewat mengusahakan sesuatu yang berguna dari dirinya bagi orang lain. Ciri khas utama mereka yang dimaksud, adalah kemampuan untuk menentukan sekaligus membedakan waktu untuk bekerja dan waktu untuk beristirahat. Wajah mereka menampakkan ekspresi yang kontras antara saat bekerja dimana keseriusan dan kerutan dahi nampak dan santai, tersenyum lepas manakala waktu istirahat tiba. Orang-orang yang tidak membawa pekerjaan ke rumah ataupun sampai membebani pikiran di tempat tidur.
Kenyataan ini terlintas manakala pernah beberapa pekan lalu ditanyai: Enakkah hidup tanpa gaji selayaknya? Pertanyaan ini membayangi pikiran selama beberapa hari. Bukan karena tidak siap untuk ditanyai pertanyaan seperti itu, melainkan lebih pada kesadaran bahwa hal ini tidak pernah direnungkan secara serius selama ini!
Well, ketika pertanyaan itu diajukan, reaksi pertama yang muncul dalam kesadaran, adalah rasa penasaran tentang apa sebenarnya bahagiamu? Tentu sebagai seorang beriman, Allah saja cukuplah karena Ia-lah rahmat terbesar dari segalanya. Namun untuk sampai pada pengakuan yang dapat dipertanggungjawabkan dalam hati dan pikiran, kiranya masih jauhlah dari kesadaran seluhur ini.
Pertanyaan tersebut lantas menghantar saya memikirkan hal kedua sebagai konsekuensi dari pertanyaan pertama tersebut: Apa yang kamu cari dalam hidup? Materi kah? Sesuatu yang lain kah? Atas dua kemungkinan jawaban ini, tentunya materi kendati penting bagi hidup (Misalnya: Biston Wealth pernah mempublikasikan hasil penelitiannya bahwa uang dapat memfasilitasi manusia dalam mengusahakan dan memeroleh kebahagiaan dalam hidup sebagaimana termuat dalam: https://www.cnbcindonesia.com/lifestyle/20180619133609-33-19583/hasil-penelitian-uang-memang-bisa-beli-kebahagiaan), materi tak dapat mutlak menjadi hal utama yang manusia cari dalam hidup. Kefanaan materi menjadikan kepemilikan atasnya senantiasa menimbulkan rasa tak puas dalam diri manusia. Manusia senantiasa menginginkan materi secara berlebihan. Karenanya jam tangan, handphone terbaru, laptop spesifikasi gahar, pakaian mode terbaru bukanlah hal utama yang manusia cari dalam hidup. Materi tak berdaya dalam menjadikan manusia merasa puas dengan diri bahkan hidupnya. Lantas apa? Jika materi tak dapat diandalkan, maka pilihan terakhir yang tersisa adalah sesuatu yang non material, itulah: kebahagiaan batiniah.
Tak dapat dipungkiri bahwa kebahagiaan batiniah adalah sesuatu yang bersifat realitif cara pengusahaannya. Namun essensinya (dalam artian adanya) senantiasa merujuk pada satu kondisi yang sama, yaitu keberartian diri. Mengapa demikian? Alasannya adalah seluruh realitas manusiawi senantiasa dimaksudkan sebagai usaha manusia untuk mencari tahu kebermaknaan dirinya. Pertanyaan: Siapakah aku? Adalah hal yang akan terus manusia tanyakan sepanjang dirinya. Pertanyaan ini hanya dapat terjawab secara memuaskan manakala manusia sungguh menyadari bahwa bahagia saya tergantung pada atas cara apa saya mengusahakan kebahagiaan orang lain. Bahasa rohaninya: Menemukan diri sendiri dalam diri orang lain. Ini sekaligus memberi kepada kita jawaban mengapa kunci kedekatan dan kerekatan emosi dalam sebuah relasi terletak pada rasa nyaman, yaitu karena rasa nyaman adalah reaksi yang timbul manakala seseorang diterima sebagaimana dirinya sekaligus “diizinkan” untuk mengekspresikan dirinya sebagaimana adanya. Inilah yang sering disebut sebagai “inti terdalam hati manusia”.
Seluruh kenyataan di atas lantas menghantar saya pada satu kesimpulan ini: “Kunci utama kebahagiaan sejati manusia terletak pada hati sesama manusia”. Dorongan untuk memahami siapa kita, senantiasa mengharuskan kita tuk menjadi berarti bagi orang lain atas cara menjadi sebagaimananya kita. Ini mengandaikan kemauan saya untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi orang lain juga penerimaan orang lain yang dari padanya memberikan “jaminan” bahwa saya diizinkan untuk menjadi berarti bagi orang lain. Adanya orang lain adalah syarat mutlak yang tak terhindarkan dalam usaha untuk beroleh bahagia sejati dalam hidup.
So, enakkah hidup tanpa gaji selayaknya? Dengan pasti dan dapat dipertanggungjawabkan, jawabannya adalah “Ya”. Ini pertama-tama bukan soal saya menolak untuk dihargai sesuai dengan kapasitas kemampuan pribadi, melainkan karena prioritas orientasi terhadap usaha untuk menjadi bahagia dalam hidup. Cukuplah jika punya materi yang lewatnya hidup dapat difasilitasi atas cara yang cukup. Selebihnya, kebahagiaan batin tetaplah menjadi tujuan utama karena tanpanya segala materi yang ada tidaklah berfaedah sama sekali, bahkan hidup pun seakan tak bermakna. Atas cara ini, penghargaan atas diri sendiri tak terabaikan, bahkan dapat diusahakan dengan lebih baik lagi.

No comments:

Post a Comment